KASUS pertambangan yang menyeret Bupati Kotim Supian Hadi gaduh sejak DPRD Kotim menemukan adanya ketidakberesan dalam penerbitan 42 izin usaha pertambangan (IUP) pada 4 September 2014. Di antaranya adalah PT Fajar Mentaya Abadi, PT Billy Indonesia, PT Aries Iron Mining yang disebut praktik suap itu.
Saat itu, DPRD Kotim di bawah kendali Ketua DPRD Jhon Krisli menyebutkan, ada indikasi tidak beres dalam penerbitan 42 izin itu. Izin itu diduga kuat melanggar Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Bahkan, kalangan legislator memprediksi kasus itu akan menuai masalah di kemudian hari. Hingga akhirnya sejumlah anggota DPRD Kotim menyambangi KPK untuk menyampaikan masalah tersebut.
Tak berselang lama, KPK menurunkan tim ke Kotim, sekitar November 2014. Sejumlah instansi digeledah. Saat itu mereka mengangkut enam 6 tas dokumen. Masalah tambang di Kotim kian terendus ketidakberesannya.
Setelah itu, April 2015, sejumlah kelompok yang mengaku dari kalangan aktivis dan LSM melakukan aksi demonstrasi di KPK. Mereka menuntut penuntasan kasus dugaan tindak pidana korupsi yang dibidik KPK di sektor pertambangan.
Namun, sejak itu, kasus ini sempat menghilang dari publik. Namun, belakangan ini, sejak tahun 2018, tim penyidik KPK kerap mendatangi Kotim. Dikabarkan salah satu tujuan mereka masih berkutat di pengusutan dugaan tindak pidana korupsi dalam terbitnya IUP pertambangan tersebut.
Sementara itu, PT FMA beroperasi di wilayah Desa Sudan, Kecamatan Cempaga, dan Desa Parit serta Keruing, Kecamatan Cempaga Hulu. Perusahaan dengan komisaris Alias Wello (sekarang Bupati Lingga) pernah dihentikan aktivitasnya oleh Polda Kalteng. Selain itu, terseret dalam kasus pemalsuan tanda tangan Gubernur Kalteng saat itu, Agustin Teras Narang.
Dalam kasus tersebut, dua orang jadi tersangka. Saat itu PT FMA mengalami kesulitan mengurus rekomendasi gubernur tentang pinjam pakai kawasan hutan, sehingga mendorong Wello, komisaris perusahaan, bertukar pikiran dengan oknum dosen tersebut.
Kebuntuan yang dialami PT FMA dimanfaatkan oknum dosen, Giyanto, bersama rekannya, untuk menawarkan jasa pengurusan rekomendasi.
Terkait PT Billy Indonesia, merupakan pertambangan bauksit yang beroperasi di Kecamatan Parenggean. Perusahaan ini pernah berseteru dengan anggota DPRD Kotim lantaran aktivitas pengerukan yang saat ini jadi lahan rumah sakit tersebut dianggap ilegal. Selain itu, izinnya yang masuk areal permukiman membuat kegaduhan saat itu.
Sementara itu, PT Aries Iron Mining yang berlamat di Desa Parit Kecamatan Cempaga, terhenti lantaran terbitnya kebijakan pemerintah pusat melarang ekspor mentah bauksit ke luar negeri dan kewajiban membangun smelter (pemurnian). PT Aries Iron Mining juga di bawah kendali Alias Wello dan sejumlah orang kepercayaannya. (ang/ign)