SAMPIT – Sudah hampir dua bulan perajin rotan mengeluhkan sulitnya mencari bahan baku rotan dari Banjarmasin. Sedangkan bahan baku dari Sampit lebih mahal.
Perajin rotan sekaligus pemilik dari Mebel Rotan Rangga di simpang Baamang Tengah Dani mengaku selalu membeli rotan dari Banjarmasin dengan harga Rp 30 ribu per kilogram. Sedangkan bahan baku di Sampit lebih mahal, yakni Rp 47 ribu per kilogram. Selain itu, Dani mengatakan, pemilik rotan di Kotabesi tidak mau menjual rotan ke perajin di Sampit karena volume pembelian hanya sedikit.
Pria yang sudah sejak 17 tahun membuka usaha kerajinan rotan ini mengaku tidak dapat menyelesaikan pesanan milik pelanggan karena kesulitan bahan baku.
”Pelanggan saya pesan kursi, sampai saat ini masih berbentuk kerangka saja,” ujar Dani. Dirinya merasa malu kepada pelanggan karena hanya bisa berjanji tanpa tahu kapan kursi pesanan itu selesai.
Dalam sepuluh hari ke depan, dia berharap bahan baku rotan sudah tersedia. Dani masih mengharapkan harga rotan di Sampit stabil.
Dani baru-baru ini mendapat pesanan dari turis Inggris untuk pembuatan 12 tempat sampah. Satu tempat sampah dihargai Rp 300 ribu.
”Permintaannya tempat sampah yang terbuka saat diinjak, orangnya bilang tempat sampah itu untuk hotel di Bali,” ungkap Dani sambil memperlihatkan tempat sampah yang berbentuk seperti tabung itu.
Menurutnya, orang luar negeri lebih mengapresiasi segala bentuk kerajinan tradisional. Jika cocok, pelanggan akan pesan lagi untuk dipasarkan di toko souvenir di Bali. Hingga saat ini, dia baru menyelesaikan empat tempat sampah.
Dani mengatakan, tempat sampah seperti itu layak ditempatkan di perkantoran. Karena unik, hanya tinggal diberikan plastik sampah di dalamnya. Selain itu, kerajinan rotan seperti kursi tamu juga diharapkan digunakan di kantor-kantor dinas untuk menonjolkan ciri khas Sampit.
Sementara itu, Sekretaris Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur Halikinoor meminta Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Disdagperin) Kotim mengatur tata kelola rotan. Sebab, sumber daya alam (SDA) rotan termasuk banyak di Sampit.
Jika tata niaga rota tidak dikelola, maka perajin rotan akan mati di pusat rotan. Ibarat tikus kelaparan di lumbung padi. Sementara pengepul enggan melayani pembelian dalam jumlah sedikit.
”Ada kecenderungan masyarakat lokal jual kepada pengepul, pengepul membagikan kepada pengrajin. Pengepul itu biasanya menjual berton-ton rotan, harga pun cukup tinggi. Sedangkan perajin minta harga rendah,” ungkapnya.
Halikin meminta dinas teknis bersama asosiasi rotan mendata kebutuhan perajin di Sampit. ”Mungkin harganya tidak terlalu jauh namun produk bisa diangkat harganya, sehingga kebutuhan untuk perajin tetap ada,” ujarnya.
Halikin mengatakan, pemkab telah menginstruksikan dinas menggunakan produk rotan. Selama ini dinas sudah menggunakan produk rotan, namun hal tersebut tidak begitu membantu.
”Pengadaaan satu SOPD empat atau lima tahun sekali, baru bisa ganti. Rotan temasuk produk yang tahan lama dan awet,” ujarnya.
Selain itu, adanya keterbatasan anggaran juga merupakan salah satu kendala di samping faktor kebutuhan akan produk tersebut. ”Saya minta dibuka kran ekspor rotan, agar petani rotan sejahtera,” pungkasnya. (rm-96/yit/ign)