SAMPIT – Masih dinamisnya peta politik Pilkada Kotim berpotensi memunculkan ”kawin” paksa politik antarbakal calon bupati dan wakil bupati. Hal itu bisa terjadi apabila pasangan yang diajukan bakal calon yang akan diusung, tak disepakati partai politik.
Bakal calon bupati Kotim Jhon Krisli mengatakan, politik kawin paksa akan terjadi apabila bakal calon sudah menentukan pasangan, tetapi partai tidak menghendaki dan punya pandangan lain. ”Di situ kerap terjadi konflik kepentingan. Istilahnya akan muncul kawin paksa. Calon yang dipaketkan bukan atas dasar kemauan sendiri, tetapi keinginan partai koalisi," ujarnya, Jumat (13/3).
Menurut Jhon, selama rekomendasi belum ada di tangan dan belum didaftarkan ke KPU, perubahan peta politik terus terjadi. Pasalnya, masing-masing partai mencari kesamaan dalam menghadapi pilkada dan mencari figur yang memang tepat untuk diusung.
Berubahnya peta koalisi itu bisa terjadi untuk partai yang sebelumnya sepakat mengusung Suprianti Rambat. Ada empat partai yang disebut-sebut akan berkoalisi mendukung bos perumahan tersebut, yakni Gerindra, NasDem, PKB, dan Hanura.
Masalahnya, Gerindra dan NasDem sama-sama bersikeras mengajukan kadernya untuk jadi wakil Suprianti. Ketua DPD Nasdem Kotim Ansen Tue mengatakan, dengan jumlah empat kursi di DPRD Kotim, pihaknya tidak mau hanya sebagai penonton. NasDem ingin kadernya naik jadi wakil.
Hal yang sama diungkapkan Sekretaris Gerindra Kotim Juliansyah. Menurutnya, Gerindra bisa berkoalisi dengan syarat, kadernya harus menjadi wakil Suprianti. Gerindra sudah mengajukan Sanidin sebagai pasangan Suprianti. Dengan kondisi demikian, apabila ada partai yang keinginannya tidak terpenuhi, bisa saja menarik diri dari koalisi. (ang/ign)