SAMPIT | PANGKALANBUN | PALANGKA | KOTAWARINGIN | METROPOLIS | BARITO | GUMAS | DPRD SERUYAN

SAMPIT

Minggu, 17 April 2016 14:59
Cermin Inovasi Radar Sampit
MERIAH: General Manager SKH Radar Sampit Duito Susanto saat memotong kue ulang tahun didampingi tamu undangan, Ujang Iskandar dan Wakil Ketua DPRD Kotim Parimus, Minggu (17/4). (FOTO: RADO/RADAR SAMPIT)

Oleh; Duito Susanto

Dua siswa berjingkrak spontan sembari merangkul gurunya. Pekik mereka timbul tenggelam di antara riuh suasana di pusat perbelanjaan, Sabtu malam awal April lalu. Senyum semringah tak terbendung setelah juri Mading Competition Radar Sampit Young Festival mendaulat karya mereka sebagai yang terbaik.

Bagian atas mading dua dimensi itu jelas terpampang identitas sang pemenang, SMP Meranti Mustika. Ditulis dengan dominasi warna biru. Di bawahnya terserak rapi bukti kepedulian sekolah itu kepada lingkungan yang dikonversi di atas bidang datar.

Meranti Mustika, segera membuat saya mencoba merangkum kembali keping-keping ingatan. Samar-samar saya mulai teringat karya jurnalistik wartawan Radar Sampit tentang sekolah di Tanjung Katung itu. Terbit 16 Juni 2015. Memenangi lomba di Kaltim Post Group dan Jawa Pos Group pada triwulan kedua tahun yang sama.

Sekolah itu adalah saksi bisu kejayaan perusahaan kayu PT Meranti Mustika Plywood (MMP) di Tanjung Katung. Menyandang nama yang sama, mereka berdiri berjenjang mulai SD Kayu Meranti Mustika, SMP Meranti Mustika, dan dilengkapi SMK Ambarwati.

Sekolah-sekolah itu dibangun dari kejayaan industri kayu di Kotim. Didirikan pada 1990. Sempat menjadi sekolah favorit di Sampit. Namun nasibnya terkait kuat dengan kondisi perusahaan.

PT Meranti Mustika mulai oleng pada 1999. Kemudian berhenti beroperasi secara total pada 2003 karena terlilit utang. Asetnya disita pengadilan dua tahun kemudian. Sejak itu, tiga sekolah tersebut ikut dirundung duka.

---------- SPLIT TEXT ----------

Pada 2015 lalu, ketika Radar Sampit berkunjung, tak ada lagi sekolah yang puluhan tahun lalu berdiri megah dan angkuh. Yang tersisa hanya bangunan usang dan tua. Bangunan yang plafon-plafonnya menjuntas lemas. Dindingnya lapuk. Sudut-sudutnya dikerumuni jelaga. Tak ada kemegahan yang tersisa. Guru dan murid bertahan dengan infrastruktur minim yang tertimbun puing keruntuhan masa kejayaan perkayuan.

Nasib pendidikan di sana ikut terseret arus deras era emas perkayuan yang lenyap begitu saja. Kenangan yang ditinggalkan tak lebih dari dongeng pengantar tidur. Lalu kayu-kayu itu segera berganti menjadi kelapa sawit, yang menggilas era tersebut menjadi tinggal cerita.

Kini perusahaan perkebunan kelapa sawit menggantikan posisi batang-batang gelondongan itu. Menjadi sumber pendapatan daerah, berpadu dengan sektor tambang. Menjadi penjajal rupiah ke kantong-kantong pemilik modal yang datang dari luar. Dan mungkin segera pergi setelah dompet mereka kian tebal dan sumber daya dikeruk habis.

Kayu habis, listrik masih byarpet. Dari tahun ke tahun. Masih bergantung pada tetangga, Kalsel. Kayu habis, Tanjung Katung hampir mati. Tak ada yang tersisa. Akses jalan sulit. Penghasilan turun drastis. Warga bergerak pindah. Bersalin usaha menjadi petani.

Kayu habis, bangunan sekolah masih banyak yang memprihatinkan. Kekurangan tenaga pengajar. Kekurangan biaya menimba ilmu. Kayu habis, dunia kesehatan masih perlu perhatian. Dokter dan perawat tak dalam jumlah ideal melayani pasien. Kayu habis, wilayah pedalaman miskin akses jalan dan infrastruktur.

Kelapa sawit dan sedikit batu bara juga segera habis. Akankah yang tersisa hanya cerita serupa era kayu?

---------- SPLIT TEXT ----------

Hari ini sepuluh tahun Radar Sampit. Masih terlalu muda. Ibarat bocah, baru mengenyam pendidikan dasar. Dan beruntung bisa melalui tahun sulit 2015 silam. Kesulitan ekonomi yang mendera tanah air ditambah goyangan aktivitas politik di Kalteng dan Kotim.

Tahun sulit itu juga dirasakan Radar Sampit, meski tak seburuk industri kecil dan usaha rakyat yang menggantungkan hidup pada komoditas lokal. Harga karet dan rotan tak bergerak dari level bawah. Pun demikian dengan kelapa sawit.

Hari ini, kado ulang tahun itu pun istimewa. Tim hebat Radar Sampit menghasilkan edisi ‘tebal’ dengan jumlah seratus halaman. Pertama kali koran kesayangan Anda ini melakukan itu. Yang pertama juga di Kalteng.

Sajian mengenai perspektif ekonomi di tiga Kota besar di Kalteng; Sampit, Palangka Raya, dan Pangkalan Bun, diharapkan bisa membantu memasok informasi kepada masyarakat.

Kotim, dengan 32 persen investasi kelapa sawitnya menjadi yang paling maju. Sektor itu menyumbang 23,19 persen PDRB Kotim. Paling tinggi. Kemudian susul menyusul sumber lainnya seperti perdagangan, serta jasa keuangan dan asuransi.

Pada 2014, Kotim bahkan sudah jauh meninggalkan Kobar di posisi kedua PDRB tertinggi di Kalteng. Juga Palangka Raya yang notabene ibu kota provinsi. Ketiga daerah ini memang terus menerus bertumbuh. Hanya Kotim yang angkanya paling signifikan.

---------- SPLIT TEXT ----------

Pada milad kali ini juga Radar Sampit berusaha menjawab justifikasi senja kala media konvensional dengan terbit lebih tebal. Ini menjadi bukti bahwa media yang diprediksi bakal kesulitan dengan gempuran teknologi informasi saat ini masih eksis. Meski juga harus berjuang di tengah kondisi ekonomi nasional yang belum pulih. Tapi ini tentu saja bukan berarti kami menolak berubah dan berinovasi mengikuti era digital, eranya generasi Z.

Dengan manajemen kelola yang rasuk, media konvensional dan digital bisa seiring sejalan. Segendang sepenarian. Menari dan bernyanyi bersama. Tumbuh besar barengan. Saling melengkapi, karena pada hakekatnya semua ciptaan manusia tak lepas dari kekurangan.

Harus diakui bahwa pertanyaan tentang kemampuan media konvensional bertahan dari gempuran digitalisasi itu cukup bikin resah. Bahkan di kalangan media sendiri, itu sampai memicu perdebatan. 

Digital, yang diyakini era baru media massa, berilusi menampilkan informasi yang pertama sekaligus tercepat. Tetap (mungkin) saja lupa bahwa yang pertama dan tercepat belum tentu yang terbaik.

Pada 1990, Bill Gates meramalkan bahwa sepuluh tahun ke depan (maksudnya tahun 2000-an) surat kabar akan mati. Dan pada 2006 silam, Radar Sampit lahir. Bertahan dan makin maju hingga 2016. Bill Gates kemudian merevisi ramalannya, bahwa 50 tahun ke depan mungkin tidak ada lagi surat kabar. Mungkin.

Wolfgang Riepl, pemimpin redaksi media di Jerman, memberi pegangan bagi jurnalis. Bahwa, media massa baru bukanlah pengganti media massa lama. Tetapi tambahan. Kumulatif. Televisi yang begitu aktraktif, tak bisa benar-benar mematikan radio. Pun demikian dengan majalah yang bertahan atas gempuran media harian dengan faktor kedalaman sajian dan inovasi.

Terbitan 100 halaman Radar Sampit hari ini adalah bagian dari inovasi itu. Merangkul erat dunia digital melalui sampit.prokal.co, kita akan berjalan beriringan. Syukur-syukur bisa bersama memberi sumbangsih bagi daerah dalam kondisi ekonomi yang masih sulit saat ini. (duito@radarsampit.com)

 

 


BACA JUGA

Rabu, 09 September 2015 22:17

Dishub Diminta Tambah Traffic Light

<p><strong>PALANGKA RAYA</strong> &ndash; DPRD Kota Palangka Raya menilai sejauh…
Sitemap
  • HOME
  • HOT NEWS
  • NEWS UPDATE
  • KOLOM
  • RAGAM INFO
  • INSPIRASI
  • FEATURE
  • OLAHRAGA
  • EKONOMI
Find Us
Copyright © 2016 PT Duta Prokal Multimedia | Terverifikasi Dewan Pers