SAMPIT – Hancurnya kawasan hutan di sebagian wilayah Kalimantan dituding akibat investasi besar-besaran di sektor perkebunan dan pertambangan. Pemerintah daerah dinilai tidak berpikir jangka panjang mengenai dampak dari pemberian izin tersebut. Kawasan hutan di Kotawaringin Timur (Kotim) adalah salah satu yang terparah. Sudah berada di titik nadir.
”Itu memang akibat dari investasi di sektor kehutanan yakni perkebunan dan pertambangan. Sektor ini cukup menguras luasan hutan kita yang sebelumnya masih bisa diandalkan,” ujar Ketua DPRD Kotim Jhon Krisli, Jumat (22/4).
Jhon menilai penipisan hutan hingga kritis akibat kebakaran hutan dan lahan, masih bisa terbilang tidak seberapa. Dan itu, kata dia, bisa dibuktikan dengan data dan fakta. Karena itu dia sangat mendukung spirit Presiden Joko Widodo yang sudah memikirkan nasib sektor kehutanan ke depannya.
Jhon Krisli juga mengaku tengah menunggu keseriusan pemerintah daerah mengevaluasi perizinan perusahaan besar swasta kelapa sawit dan pertambangan. Sebab posisi pemerintah selaku pengawas wajib mengevaluasi perizinan yang tidak sesuai perundang-undangan.
---------- SPLIT TEXT ----------
”Kami sangat mendukung dan berharap segera dibentuk tim yang melibatkan seluruh SKPD (satuan kerja perangkat daerah) terkait. Harapan kami nanti ada hasil, tidak sekadar membentuk tim. Kalau ada yang tidak sesuai dengan peraturan, ya cabut saja izinnya," ujar Jhon.
Politikus PDI Perjuangan itu membuka kembali hasil laporan panitia khusus evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit yang dibentuk DPRD pada 2006-2007 silam. Saat itu pansus hingga jilid II di bawah kepemimpinan Kemikson F Tarung sudah bekerja di lapangan dan menemukan berbagai indikasi pelanggaran aturan. Kemudian dibuat rekomendasi kepada pemerintah daerah.
Namun rekomendasi dan data pelanggaran yang diberikan itu berakhir sia-sia. Padahal kegiatan pansus itu dibiayai dari APBD Kotim.
Temuan pansus kala itu, misalnya, izin perusahaan hanya 15.000 hektare, tapi yang ditanam sampai 17.000 hingga 18.000 hektare. Bahkan ada perusahaan yang sudah beroperasi duluan sebelum memiliki legalitas. (ang/dwi)