Komandan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Pos Jaga Sampit Muriansyah menyempatkan diri menyambangi kantor Radar Sampit, Selasa (5/1). Banyak hal yang dibahas, terutama terkait serangan buaya yang menghantui warga.
HENY, Sampit
Mengenakan pakaian dinasnya, Muriansyah mengaku canggung berbicara langsung di hadapan kamera. Direktur Radar Sampit Siti Fauziah yang menerima Muriansyah, meminta pria kelahiran Amuntai, Kalsel itu siaran langsung di akun sosial media sosial Radar Sampit.
Sambil tersipu malu, Muriansyah yang tadinya duduk santai dan tertawa lepas saat berbincang bersama Siti Fauziah, spontan mengambil posisi terbaiknya ketika kamera mengarah ke wajahnya. Namun, setelah sekian menit berlalu, dia tampak santai berbincang dan merespons setiap pertanyaan warganet.
Berbagai perbincangan perihal kasus serangan buaya hingga dampak kemunculannya yang terjadi dari tahun ke tahun, membuat sejumlah warganet bertanya-tanya. Agus, misalnya, menanyakan apakah selama ini BKSDA memetakan sebaran habitat satwa dilindungi di wilayah Kalteng, khususnya di Kotim.
”Kalau ada, di mana saja wilayahnya? Karena biasanya binatang ini tinggal di daerah rawa dan sekitar muara anak sungai. Berapa kira-kira habitat buaya yang ada di Kotim? Apakah ada riset terkait masuknya buaya ke induk sungai atau hilir dan mendekati permukiman karena ada masalah dengan habitatnya diwilayah hulu?” tulis Agus.
Merespons pertanyaan itu, Muriansyah menjelaskan, wilayah yang rawan terjadi konflik antara manusia dengan buaya di Kotim, seperti di wilayah Kecamatan Mentaya Hilir Selatan, Mentaya Hilir Utara Pulau Hanaut, Teluk Sampit, Seranau, Cempaga, dan baru-baru ini terjadi sudah memasuki wilayah Kota Sampit, yakni Kecamatan MB Ketapang.
”Bisa saya katakan habitat itu di wilayah Kecamatan Teluk Sampit di sekitar muara sungai Desa Lempuyang. Parahnya, karena desakan faktor ekonomi, warga tetap beraktivitas di tempat dan lokasi tersebut seeprti mencari kerang di malam hari,” kata Muriansyah.
Muriansyah juga membenarkan adanya kegiatan alih fungsi hutan yang ada seperti yang terjadi di Mentaya Hilir Selatan, Mentaya Hilir Utara, Pulau Hanaut, membuat rawa dan danau menjadi kering.
”Ini disebabkan irigasi atau kanal pengaringan yang dibangun di area perkebunan, perladangan, dan permukiman, bahkan ada juga lahan yang tidak diapa-apakan. Secara otomatis semua satwa yang hidup di danau atau rawa turun ke sungai besar (Sungai Mentaya),” ujarnya.
Di samping itu, lanjutnya, kerusakan habitat buaya juga bisa berdampak terhadap pakan alaminya, seperti ikan, monyet, babi, biawak, dan lainnya. ”Tidak hanya kerusakan ekosistem lingkungan, tetapi ini juga saling berkaitan dengan perubahan pola perilaku manusia yang terjadi sekarang, seperti membuang sampah rumah tangga, bangkai hewan ke sungai, serta membangun kandang ternak diatas tepian sungai yang tanpa sadar aktivitas masyarakat mengundang keberadaan buaya,” ujarnya.
Siti Fauziah yang sedari awal menyimak turut mengingatkan dan menyimpulkan kembali apa yang disampaikan Komandan BKSDA Pos Jaga Sampit. ”Terima kasih kepada warganet yang bertanya dan kita sama-sama saling mengingatkan seperti apa yang disampaikan Pak Muriansyah agar warga berhati-hati dan menghindari aktivitas di malam hari, serta melaporkan apabila ada warga yang melihat kemunculan buaya,” ujarnya.
Siti menambahkan, buaya muara dan sapit yang terdapat di Kotim merupakan satwa yang dilindungi, sehingga warga diharapkan tidak membunuhnya. ”Jangan langsung mengambil tindakan, apalagi membunuh yang justru dapat membahayakan nyawa. Sebaiknya ketika melihat, langsung dilaporkan ke kades, BKSDA, atau aparat setempat,” ujarnya.
Setelah diskusi di kantor Radar Sampit, Muriansyah bersama Siti Fauziah serta Camat MB Ketapang Sutimin, mengunjungi lokasi serangan di rumah korban, Desa Pelangsian. Kehadiran mereka disambut Kades Pelangsian Ismail, cucu korban Mariana, suami korban Zuhran, dan anak korban Bahrun. (hgn/ign)