PANGKALAN BUN – Kebutuhan oksigen di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sultan Imanuddin, Pangkalan Bun, meningkat tiga kali lipat. Melonjaknya permintaan oksigen di rumah sakit seiring membeludaknya pasien Covid-19 yang dirawat di ruang isolasi.
Menurut Direktur RSUD Sultan Imanuddin Pangkalan Bun dr Fachrudin, kebutuhan oksigen di awal pandemi Covid-19 antara 10 sampai 15 ton per bulan. Namun, dalam dua bulan terakhir, peningkatan kebutuhan oksigen naik 3 kali lipat. Sebulan bisa mencapai 40 sampai 50 ton oksigen.
"Saat ini mencapai 40 sampai 50 ton oksigen per bulan, hampir 3 kali lipat peningkatan kebutuhannya," ungkap Fachrudin, Sabtu (3/7).
Meskipun kebutuhan oksigen mengalami peningkatan signifikan, pihaknya tidak merasa khawatir karena persediaan di tangki stok 12 ton masih terbilang aman. Begitu pula di tangki penyangga (buffer) Kumai ada stok 20 ton.
Disebutkannya, mayoritas pasien positif Covid-19 yang dirawat di rumah sakit rata-rata memiliki gejala demam dan gangguan pernafasan (desaturasi) sehingga membutuhkan asupan oksigen dalam penanganannya. Untuk menjamin keamanan stok oksigen di RSSI, dalam waktu dekat rumah sakit akan meningkatkan kapasitas dengan membuat tangki baru (buffer stok) yang semula berkapasitas 12 ton menjadi 20 ton.
"Dengan begitu, ketersediaan oksigen di rumah sakit lebih aman dan pelayanan dapat kita maksimalkan," katanya.
Melonjaknya pasien Covid-19 membuat fasilitas kesehatan (faskes) kepayahan. Antrean pasien mewarnai rumah sakit (RS) berbagai kota di Indonesia. Kebutuhan tabung oksigen melonjak. Tenaga medis kelelahan.
Para pakar menyarankan isolasi mandiri alias isoman di rumah. Tentunya, anjuran tersebut hanya berlaku untuk pasien Covid-19 tanpa gejala atau dengan gejala ringan. Dengan demikian, hanya pasien dengan gejala berat atau kritis yang dirawat di RS.
Namun, isoman pun tidak bisa sembarangan dilakukan. Dokter spesialis pulmonologi dan kedokteran respirasi (paru) Dr dr Erlina Burhan SpP(K) MSc PhD menegaskan bahwa pasien yang boleh isoman hanyalah yang tanpa gejala. Hasil PCR-nya positif, tapi tidak ada gejala sakit.
Dia menambahkan, pasien bergejala, tapi tidak mengalami sesak napas, juga diperbolehkan isoman. ”Anda tidak diperbolehkan isoman kalau sesak napas. Tolong dihitung frekuensi napasnya dalam 1 menit, berapa tarikan napas,’’ kata Erlina dalam webinar Isolasi Mandiri Pasien Covid-19 pada Jumat (2/7). Jika dalam 1 menit ada lebih dari 24 kali tarikan napas, lanjut dia, pasien mengalami sesak napas. Itu tandanya, pasien tidak boleh isoman dan harus segera ke faskes. Bisa ke puskesmas atau RS.
Jika ingin lebih valid, pengukuran saturasi oksigen yang menjadi indikasi awal sesak napas atau tidak bisa menggunakan oksimeter. Apabila saturasi oksigen kurang dari 94 persen, pasien harus segera ke faskes. ”Tapi sekarang RS luar biasa penuhnya. Saya kira manfaatkanlah puskesmas sebagai perpanjangan tangan RS,’’ imbuh dokter spesialis yang juga juru bicara Satgas Covid-19 PB IDI itu.
Isoman atau home treatment, menurut Erlina, juga harus dilakukan oleh mereka yang terlibat kontak erat dengan pasien Covid-19. Itu juga berlaku meskipun si pasien tidak bergejala atau tidak sesak napas. Isoman akan menjadi mekanisme efektif untuk mencegah penularan lebih lanjut.
Agar home treatment maksimal, pasien perlu memperhatikan beberapa poin penting. Salah satunya, ketersediaan ruang isolasi yang terpisah dari ruangan-ruangan lain di dalam rumah. Hal penting berikutnya adalah penghuni rumah. Sebaiknya, pasien tidak serumah dengan kelompok risiko tinggi. Yakni, bayi, lansia, orang yang sistem imunnya rendah, dan orang dengan komorbiditas atau penyakit penyerta. Misalnya, diabetes, hipertensi, dan jantung.
”(Kalau ada poin tersebut, Red) sebaiknya jangan isoman di rumah. Segera kontak faskes,’’ terang Erlina. Apabila gejala yang dialami ringan, RS akan mengirim pasien ke tempat karantina milik pemerintah. (tyo/dee/c13/hep/yit)