HIDUP dalam keterbatasan tak membuat putra dari penarik becak dan pembantu rumah tangga itu putus asa. Dia membuktikan bahwa kekurangan bukanlah hambatan berprestasi. Dia lolos sebagai peserta Indonesia Student Leadership Camp di Malaysia, akhir Agustus nanti.
DINI MUTIARA PARLINA SINAGA, Sampit
Rabu, 17 Agustus 2016, euforia Kemerdekaan Republik Indonesia dimulai sejak pagi. Upacara detik-detik proklamasi digelar seantero negeri. Termasuk di sekolah berbasis Islam, Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Sampit. Peringatan perjuangan bangsa Indonesia merebut kemerdekaan berakhir pukul 08.10 WIB di halaman sekolah tersebut.
Radar Sampit memiliki janji temu dengan siswa MAN Sampit yang berprestasi hingga kancah internasional. Memasuki gerbang besi berwarna hitam, seorang tenaga pengajar menyambut hangat Radar Sampit dengan senyum di bibirnya. Kedatangan kami telah ditunggu. Dia tak sabar memperkenalkan siswa kebanggaannya.
Kami lantas masuk ke sekolah bercat hijau itu. Disambut deretan piala yang diraih sejak sekolah berdiri. Remaja 17 tahun, Supriyanto, ke ruangan itu. Penuh keringat dan tampak lelah. Perbincangan berlanjut di ruang bimbingan konseling.
Duduk bersebelahan di kursi yang sudah usang, dia tampak kebingungan. Sesekali mengusap keringat di wajah dan mengibaskan baju orenye bertuliskan ‘Gudep Pramuka’. Supriyanto memulai cerita perjuangannya sebagai anak dengan keterbatasan ekonomi untuk tetap bersekolah.
Sejak kecil, anak kedua dari tiga bersaudara ini sudah menelan pahitnya hidup serba kekurangan. Tak seperti anak lainnya, Supriyanto harus bertahan meski menempuh pendidikan tanpa cukup uang.
”Dari SD hingga SMP uang jajan saya selalu kecil. Hanya Rp. 1.000-Rp 2.000, tidak sanggup memenuhi kemauan layaknya anak pada umumnya,” kata Supri.
Saat SMP, ternyata harapan untuk bisa menjadi siswa di sekolah favorit tak terwujud. Bayangan bahwa akan lolos seleksi, rupanya hanya angan. Kegagalan itu kemudian dijadikan senjata ayah Supri agar anaknya tidak usah sekolah lagi. Untungnya, sang ibu tetap mendukung niatnya tak berhenti mengenyam pendidikan.
---------- SPLIT TEXT ----------
Tak putus asa, Supri bersama orangtua kemudian mendatangi salah satu pondok pesantren. Perjuangan tak sia-sia. Keluh kesah mereka diterima dengan baik. Bahkan mereka tak perlu membayar mahal untuk bisa masuk sekolah itu. Keberuntungan tidak pergi, Supri malah tak membayar sepeser pun uang SPP karena selalu masuk tiga besar sejak semester pertama.
”Uang sekolah dibebaskan, mulailah tekad untuk bisa berprestasi dan membanggakan sekolah. Berbagai ajang lomba diikuti, seperti melukis atau kaligrafi hingga mewakili Kotim di provinsi,” lanjut Supri dengan semangat.
Lucunya, remaja berperawakan tinggi besar itu memiliki keinginan sederhana. Terkungkung di Sampit selama belasan tahun membuat penasaran dia dengan ibu kota Kalimantan Tengah, Palangka Raya. Melalui lomba yang dimenangkannya, satu harapan Supri terpenuhi. Pergi ke Palangka Raya, menjawab rasa ingin tahu tentang Kota Cantik.
”Dulu hanya mendengar cerita dari teman, ternyata Allah memberi lebih. Tujuh kali ke Palangka Raya gratis, impian yang dikira tidak akan pernah terwujud,” lanjutnya dengan senyum penuh syukur.
Kenangan semasa SMP berlalu, meninggalkan banyak prestasi di seragam putih-biru. Supri melanjutkan ke SMA. Tidak terbersit cerita masa lampau soal kegagalan masuk sekolah. Tanpa bantuan siapapun, nyatanya Supri mampu masuk MAN Sampit. Terkait biaya, orangtua bersikeras berusaha memenuhinya.
Dia terdaftar menjadi siswa MAN Sampit jurusan Agama, sesuai dengan harapannya untuk mendalami Islam. Selain ilmu akademik, Supri mendapat pelajaran dari pramuka. Terlebih masalah kepemimpinan hingga berani berhadapan dengan orang banyak.
”Ketika SMP lomba DAI, baju basah semua karena gugup. Apa yang dihafalkan buyar, tapi sekarang sudah percaya diri,” beber Supri tersipu malu.
Hasilnya, Supri kemudian terpilih menjadi Ketua OSIS. Meski awalnya menolak lantaran amanah dan tanggung jawab besar. Namun, kepercayaan itu diterima dengan ikhlas. Semasa jabatan, Supri diminta meneruskan perjuangan Ketua OSIS sebelumnya mengikuti Indonesia Student Leadership Camp (ISLC).
Latihan kepemimpinan bertaraf Internasional itu tak mudah diraih. Sederet persyaratan harus dipenuhi. Apalagi saingannya pelajar se-Indonesia, berjuang memperebutkan satu tempat agar bisa melesat ke Malaysia. Hal pertama yang dilakukan adalah mendaftar secara online, kemudian membuat essay dengan tema “Peran Pemuda dalam Pembangunan Indonesia Berdaya Saing Tingkat ASEAN”.
Beberapa kendala di antaranya, gagap teknologi (gaptek), minim pengetahuan tentang essay, sampai urusan administrasi bisa dilalui dengan bantuan berbagai pihak. Lagi-lagi usaha keras Supri terbayar. Dia lolos dalam deretan anak terbaik, mewakili Indonesia untuk mencetak generasi muda yang memiliki cara kepemimpinan sesuai kriteria pemerintah.
Berjalan mulus? Tentu tidak, alasan klasik permasalahan biaya kembali menyeruak. Supri harus membayar Rp 5.300.000 ribu agar bisa melancong ke Negeri Jiran tersebut. Tidak mungkin Supri meminta kepada orangtuanya.
Upaya menghimpun dana dilakukan dari sekolah hingga petinggi di kabupaten ini. Tak tinggal diam, sekolah mampu membiayai keberangkatan Supri akhir Agustus nanti. Semua permasalahan biaya bisa teratasi. Bernafas lega hingga menunggu rentetan kegiatan yang dimulai dari pembukaan di Universitas Indonesia selama dua hari dan berlanjut terbang ke Malaysia.
---------- SPLIT TEXT ----------
”Di Malaysia akan tour ke dua kampus kebesaran Malaysia, saya akan bergabung dengan orang-orang hebat. Kemudian diingatkan untuk menangkap setiap ilmu yang didapat di sana untuk ditularkan ke adik kelas,” jelas remaja yang baru menginjak kelas XII itu.
Setelah kegiatan, dirinya berniat membangun Forum OSIS Daerah. Misi untuk mengumpulkan seluruh OSIS di Sampit segera direalisasikan. Rencananya, Supri beserta temannya akan membagi pengetahuan dan menjadi wadah bersama memecahkan setiap permasalahan yang ada di sekolah.
Cita-cita Supri usai SMA adalah menjadi pendakwah. Menyebarkan ajaran kebaikan tentang Islam kepada setiap orang. Supri berencana mencari pondok untuk mendalami ilmu agama. Didukung penuh oleh sang ibu agar anaknya menjadi penerus yang berguna bagi agama.
Obrolan beralih menanyakan keadaan keluarga Supri sedari tadi dikatakan tak mampu. Seberapa mirisnya orangtua anak berprestasi yang akan menceritakan kearifan budaya serta persoalan pendidikan Kalimantan Tengah, khususnya Sampit, di Malaysia.
Dengan bangga, anak dari pasangan Sawani dan Mathari meneruskan cerita latar belakang keluarganya. ”Kedua orangtua saya tidak sekolah. Mereka tidak bisa membaca, tapi hebatnya ayah hafal 30 juz Alquran dan ibu mengaji dengan lancar,” jelasnya seraya tertawa kecil.
Terselip kisah lucu dari sang ibu, Sawani, hanya bisa membaca ayat suci dari Alquran kepunyaannya. Jika diganti, Sawani tak bisa lagi membaca. Supri pun sudah puluhan kali mengganti sampul kitab suci tersebut.
Ibu penyabar dan penyayang itu selalu memperjuangkan sekolah anaknya. Meski ayah memiliki pemikiran berbeda, kakak pertama seorang perempuan sempat ditentang untuk sekolah karena perempuan tugasnya di dapur. Untuk apa sekolah tinggi. Lalu, berhasil ditampik dengan bersikukuh sekolah hingga perguruan tinggi dengan beasiswa. Sepeser pun kakak pertama tidak meminta uang dari orangtua.
Seketika wartawan koran ini terdiam saat Supri dengan lantang memberitahu pekerjaan kedua orangtuanya. Hampir saja air mata menetes melihat semangat anak yang dari tadi bercerita tanpa beban dan menggurat senyum manis membuat hati tak percaya.
---------- SPLIT TEXT ----------
”Ibu saya nyuci dan bersih-bersih, sehari empat rumah yang didatangi. Alhamdulillah penghasilan mencukupi. Sedangkan ayah tukang becak yang kini udah sepi,” tukasnya kepada Radar Sampit.
Rasa syukur Supri di tengah kepala keluarga penarik becak dan ibu pembantu rumah tangga membuat kami meminta kepada Supri untuk berkenalan langsung dengan sang ayah, Mathari. Tak pikir panjang, Supri mengajak kami mendatangi sang ayah.
Dari sekolah, mengendarai sepeda motor. Kami bergegas pergi ke RSUD Murjani Sampit tempat biasa ayah Supir mangkal. Di halaman depan Supri singgah memakirkan motor, kemudian turun dan menyalami pria berbaju putih menggunakan topi.
Radar Sampit memperkenalkan diri lalu menjelaskan maksud dan tujuan menghampirinya. Pria 50 tahun itu hanya tertawa dan berkata, “terserah anak saja, saya mengikuti apapun maunya.”
Mathari sempat mengusap air mata lantaran tahu anak kebanggaannya ternyata begitu diagungkan oleh orang banyak. Apalagi prestasinya akan dikabarkan melalui media, dia menaruh haru sambil menatap si buah hati.
”Supri tidak seperti anak lainnya, dia tidak pernah diajak main. Kami tidak sanggup membelikannya mainan atau membawanya ke tempat hiburan,” ujarnya terbata-bata.
Tak ingin larut, Mathari beralih menceritakan sedikit penderitaan si pengayuh roda tiga yang sudah dilakoninya belasan tahun. Mathari biasa mengantar penumpangnya ke pasar dengan ongkos Rp 30 ribu sekali jalan. Sayangnya, sekarang becak bukan lagi primadona.
Kendaraan tuanya itu, sudah jarang digowes untuk mengantar penumpang. Lebih banyak diam di pangkalan lantaran tak lagi dibutuhkan. Sehari Mathari bahkan tak bisa membawa pundi-pundi rupiah untuk memenuhi kebutuhan sang istri dan anaknya. Apalah daya, masa senja tak bisa berbuat apa-apa selain berserah kepada-Nya.
Apalagi kemarintanggal merah, Mathari sudah menduga bahwa tidak ada penumpang. Di bawah teriknya matahari, Mathari tetap setia menunggu. Kedatangan sang anak mungkin menambah semangatnya untuk cepat pulang.
”Saya hanya ingin Supri menjadi anak yang membanggakan dan tidak terjerumus dalam pergaulan bebas. Keterbatasan ekonomi bukan penghalang bagi dia,” tutupnya mengakhiri obrolan siang itu. (***/dwi)