PANGKALAN BUN - Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Seleksi Konservasi Wilayah (SKW) II Pangkalan Bun meminta masyarakat untuk memberikan informasi perdagangan satwa liar dilindungi.
Menurut Kepala BKSDA SKW II Pangkalan Bun Agung Widodo, perdagangan satwa liar dilindungi di pasar hewan masih bisa dipantau. Sedangkan perdagangan melalui media sosial sulit dimonitor.
"Iya pasti kami berharap bantuan seluruh masyarakat terutama teman-teman media bila ada info seperti ini segera diinformasikan agar segera dapat ditindaklanjuti," ujar Agung, Rabu (7/12).
Masyarakat juga diminta berperan aktif dalam hal memberikan informasi kepada pihaknya untuk mengurangi pemanfaatan satwa liar dilindungi untuk diperdagangkan. Dengan adanya informasi dari masyarakat, pihaknya cukup terbantu dalam melaksanakan tugas.
Seperti kejadian pada Jumat (2/12) lalu, seorang warga Pangkalan Bun menawarkan burung elang tikus (Hieraaetus Kienerii) yang merupakan jenis satwa liar dilindungi berdasarkan Peraturan Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia (RI) Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
"Ia menawarkan burung elang tersebut melalui grup facebook jual beli Pangkalan Bun. Hal itu kita dapatkan dari laporan rekan media dan langsung kita tindaklanjuti," tukasnya.
Burung elang tikus tersebut kini sudah diamankan BKSDA SKW II Pangkalan Bun untuk dilakukan pengecekan kesehatan. Apabila sudah kembali pulih, burung tersebut akan dilepasliarkan di Suaka Margasatwa (SM) Lamandau.
"Pemilik juga sudah kita mintai keterangan. Dia menyelamatkan satwa tersebut dari sawah dengan keadaan terluka. Sementara ini pemilik tidak dilakukan penyelidikan oleh kami, dikarenakan alasan tersebut," tandasnya.
Pihaknya hanya melakukan pembinaan dan memberikan penyuluhan terhadap pemilik yang cukup kooperatif, walaupun sebenarnya dapat dikenakan sanksi pidana berdasarkan Pasal 21 ayat 2 huruf (a) dan (b) jo pasal 40 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dengan ancaman pidana maksimal lima tahun dan denda maksimal Rp 100 juta. (jok/yit)