SAMPIT – Bisnis kenikmatan dengan memperdagangkan wanita untuk memuaskan hasrat pria seolah tak bisa dibendung. Alih-alih meredup menjelang penutupan lokalisasi oleh pemerintah, perekrutannya justru kian masif. Para germo mengincar gadis-gadis muda untuk dijual pada pria berkantong tebal.
Radar Sampit berhasil menguak modus perekrutan wanita yang akan dijadikan pekerja seks komersial (PSK) itu. Dari hasil pengamatan selama beberapa pekan, jaringan itu tergolong rapi. Mereka menggunakan media sosial untuk memasarkan gadis-gadis muda dan menjaring pelanggan.
Perekrutan calon PSK itu dilakukan melalui media sosial. Yovie (nama samaran), mahasiswi di Sampit, mengaku sempat menjadi target. Awalnya, ada seorang wanita yang meminta pertemanan dengannya di BlackBerry Messenger (BBM). ”Awalnya saya anggap teman biasa saja, ya saya terima,” kata mahasiswi tingkat akhir tersebut.
Perempuan tersebut memperkenalkan dirinya sebagai seorang mahasiswi dengan inisial HN. Menurut Yovie, perbincangan keduanya awalnya wajar. Namun, setelah lumayan akrab, HN mengajaknya bergabung menjadi wanita panggilan.
”Saya terkejut. Saya bahkan ditawari sejumlah uang perkenalan, asalkan malam itu langsung bersedia menerima tawarannya,” ujar Yovie.
Menurutnya, HN bertugas merekrut wanita panggilan. Bukan sembarangan wanita yang bisa direkrut. Harus memenuhi beberapa kriteria, di antaranya berparas cantik dan masih berstatus pelajar atau mahasiswi. ”Di luar itu, dia tidak menerima,” katanya.
Yovie mengaku menolak tawaran itu. Dia ketakutan karena dikirim pesan BBM yang memaksanya menjadi wanita penghibur. HN menyebut sudah ada pelanggan yang menunggunya dan siap membayar hingga jutaan rupiah.
”Mulai dari saat itu saya hapus BBM-nya, karena dikira nanti saya benaran jadi PSK. Apalagi handphone saya ini juga sering dipakai adik saya,” ujarnya.
Kejadian serupa juga dialami wanita lainnya. Gadis muda yang meminta namanya tak disebutkan ini mengalami hal yang sama dengan Yovie. Seseorang meminta berteman dengannya di BBM. ”Namanya HN juga. Apakah itu nama samaran atau yang asli, saya kurang tahu,” ujarnya.
Dari perbincangannya melalui BBM dengan HN, dia menyadari HN akan mengajaknya bergabung dengan grup wanita penghibur itu. Dia mencoba menjebak HN dan ingin bertemu secara langsung. Namun, ternyata sulit. HN enggan bertemu jika dia belum sepenuhnya menjadi anggota.
Akan tetapi, lanjutnya, HN agak sedikit terbuka terkait perekrutan wanita panggilan dan cara menjalani profesi tersebut. Termasuk menyembunyikannya dari orang-orang dekat, terutama keluarga.
”Dia mengajari bagaimana agar menjadi gadis panggilan, tapi tidak ketahuan sekalipun tinggal bersama orangtua di bawah pengawasan ketat. Ya, contohnya memanfaatkan jam sekolah atau kuliah untuk melayani pelanggan. Sepertinya sasaran mereka orang yang masih kuliahan,” ujarnya.
Menurutnya, HN mengiming-imingi dia bisa mendapat jutaan rupian dengan mudah. Pekerjaan itu dinilai lebih menjanjikan ketimbang lainnya. Dalam seminggu, bisa menghasilkan sekitar Rp 5 juta. ”Katanya kelas mahasiswi dengan penampilan bagus, di atas Rp 1 juta,” ujarnya.
Untuk pelanggan, dia melanjutkan, dari penjelasan HN, jarang dari kalangan biasa. Kebanyakan pria dewasa. Guna menjaga keamanan agar tak terendus aparat, mereka memiliki pelanggan tetap.
”Dia juga bilang bahwa jaringan mereka itu tidak bisa tertangkap dalam operasi pekat, karena memang memiliki informan khusus bagian itu, sehingga mereka tetap aman sekalipun melayani pelanggan di hotel biasa,” pungkasnya.
Tuntutan Gaya Hidup
Sementara itu, Pemerhati Perempuan dan Anak Forisni Aprilista mengatakan, banyaknya gadis-gadis muda yang terjerumus dalam bisnis kotor itu karena pergaulan bebas dan tuntutan gaya hidup yang tak bisa dipenuhi orangtua. Hal itu pula yang menyebabkan terjadinya regenerasi PSK.
”Apalagi anak perempuan yang tinggal jauh dari orangtua dengan alasan pendidikan di perkotaan, rentan terjerumus dalam pergaulan di era modern. Gaya hidup yang berlebihan, saat pengawasan kurang. Pengaruhnya sangat besar sekali, dominan anak bisa terjerumus dalam pergaulan bebas,” kata Forisni, Minggu (29/1).
Menurutnya, penanaman agama sejak usia dini yang kurang, dapat menimbulkan kasus serupa. ”Meskipun kebutuhan primer sudah terpenuhi orangtuanya, di zaman sekarang sekunder dan tersier ikut menjadi tuntutan. Jika hanya memenuhi kebutuhan hidup yang utama, tidak akan sampai seperti itu kejadiannya,” ujarnya.
Orangtua diminta jangan percaya begitu saja melepas anak perempuan tanpa pengawasan ketat. Sebab, perkembangan di perkotaan berbeda dari yang dibayangkan. ”Ada yang tidak menerima kondisi karena orangtua tidak mampu memenuhi kebutuhan gaya hidup anak dan ada juga meski ayah dan ibunya merupakan orang yang mampu, anaknya tidak diawasi, tapi terjerumus,” ujarnya.
Forisni menuturkan, setiap anak rentan terhadap pengaruh ajakan dari orang yang ingin menjerumuskan, serta mendapat keuntungan. ”Dia terjun ke prostitusi terselubung, bukan lokalisasi yang sah karena tidak ingin terang-terangan diketahui keluarga. Mereka bisa hanya melalui teman-temannya,” ujarnya.
Untuk mengatasi dan mencegah prostitusi dari kalangan wanita muda, lanjutnya, yang utama diperlukan proteksi dari keluarga. Selain itu, melibatkan instasi terkait serta masyarakat yang ikut mengawasi.
”Pertama, anak itu harus bisa menerima keadaanya. Kedua, dari instansi terkait harus aktif dan bekerja sama, jangan sendiri-sendiri,” katanya. (ang/mir/ign)