PANGKALAN BUN- Hukum adat yang dijatuhkan kepada oknum anggota TNI AU yang jadi pelaku pemukulan dua warga Desa Pasir Panjang dengan kewajiban membayar empat tajau Pantis beberapa waktu lalu, memang cukup memberatkan. Pasalnya, selain harga tajau Pantis yang kian mahal, keberadaan barangnya juga sudah cukup langka. Terutama untuk tajau yang berasal dari warisan turun-temurun dari para leluhur dan tetua adat masyarakat Dayak.
Bohav (65), warga desa Pasir Panjang kolektor berbagai macam tajau mengatakan bahwa untuk jenis tajau Pantis, saat ini sudah sangat langka. Bila ada yang menginginkan belum tentu pemiliknya akan menjual.
”Bagi kami masyarakat dayak, tajau Pantis adalah barang berharga. Dan belum tentu akan dijual bila ada yang menginginkan,”ujarnya, Sabtu (10/6) kemarin.Menurutnya tajau Pantis atau pun jenis tajau-tajau lainnya seperti tajau Pulau Kombang, Benaga, Bukung, memiliki ciri khas dan kegunaan masing-masing.
”Ada yang untuk sarana pengobatan, untuk menyimpan benda berharga, dan juga untuk membayar sanksi adat,”terangnya.
Menurutnya, untuk harga sangat ditentukan dengan kualitas barang, kelangkaan dan juga perkiraan berapa usia tajau. Sehingga kolektor tidak akan dengan mudah mendapatkannya.
”Secara kualitas jelas produksi baru terlihat lebih bagus, karena teknologi pembuatannya lebih baik. Namun jika berbicara masalah benda seni dan budaya, jelas tajau yang berusia ratusan tahun yang lebih mahal,”ujar Bohav.
Namun menurutnya, belum ada penelitian pasti terkait apakah masyarakat Dayak ini yang membuat tajau-tajau kuno tersebut. Tetapi dari kisah sejarah diketahuinya, tajau berasal dari masyarakat Tiongkok yang sejak dulu memiliki kedekatan dengan masyarakat Dayak.
”Untuk mencari yang lama dan berusia ratusan tahun seperti yang ada ini sangat sulit. Tapi bila masyarakat ingin mencari tajau yang biasa atau bikinan terbaru di kawasan Kalimantan Barat ada yang menjual,”ungkap Bohav.
Meski enggan menyebut harga pasti tiga tajau pantis miliknya, Bohav yang merupakan suami dari Birute Mary Galdikas yakni peneliti sekaligus penggiat pelestarian orangutan Kalimantan di Tanjung Puting itu mengatakan, masyarakat Dayak meyakini bahwa memiliki banyak koleksi tajau akan meningkatkan status sosial seseorang. ”Tajau ini bisa dibilang guci, dan bahannya dari tanah liat namun ada kepercayaan bila tajau ini bahannya dicampur dengan emas atau pun serbuk intan,”cetusnya.
Hal senada juga dikatakan Tarip, menurut masyarakat adat Dayak Desa Pasir Panjang ini tajau yang berasal dari warisan nenek moyang leluhur mereka. Menurutnya juga berasal dari bangsa Tiongkok yang datang ke pulau Borneo pada zaman sebelum kemerdekaan atau bahkan sebelum masa penjajahan.
Selain itu, Ketua adat Dayak Desa Pasir Panjang Rahing mengakui, tajau bagi masyarakat dayak merupakan benda sakral yang dikeramatkan. Bahkan dalam kondisi tertentu, tidak sembarang orang yang boleh memegang, memindahkan atau bahkan mempergunakannya secara sembarangan.
”Tajau itu memang beraneka jenis dan namanya, namun yang untuk ritual adat seperti pernihakan, penyembuhan penyakit atau untuk ritual adat lain hanya orang-orang tertentu yang boleh memegang,”katanya.
Bila dalam satu keluarga lanjutnya, hanya turunan langsunglah yang boleh mewakili pemilik asalnya ketika akan dipindahkan atau bahkan hanya sekedar untuk dibersihkan.
”Menurut kepercayaan kami, kalau pemilik awalnya berhalangan atau dia meyuruh mengambilkan misalnya, maka yang boleh hanya keturunannya saja. Orang lain tidak boleh pegang,”pungkas Rahing.
Dirinya juga membenarkan, tajau-tajau yang digunakan untuk urusan adat biasanya diharuskan dari tajau asli atau secara umum diartikan sebagai tajau kuno warisan leluhur mereka. (sla/gus)