Ketika hari mulai gelap, nyamuk datang, angin semilir bertiup membawa dingin. Ali dan Tri menempelkan kaki dan tangannya bersama. Terkadang berpelukan untuk menciptakan kehangatan.
TAMAMU RONY, Sampit
Entah berapa lama lagi Tri Wibowo Utomo harus mendekam di sel tahanan Polsek Ketapang. Pria berusia 36 tahun itu nampaknya harus menerima kenyataan pahit bahwa kini, dirinya berstatus tersangka. Label itu ia dapatkan setelah memukul kepala Abdul Gani (45) dengan palu, pada 22 November lalu. Alasannya, karena korban marah-marah dan menarik tangannya dengan kasar. Ketika itu, sempat terjadi duel. Hingga Tri memukul Gani dan membuat korban harus dilarikan ke RS Murjani Sampit akibat luka robek di kepalanya.
Kehidupan Tri jelas berubah. Tak hanya rutinitas, kondisinya yang berada di sel tahanan yang sempit, membuatnya harus melupakan semua kenangan manisnya bersama keluarga yang tinggal di Jalan Batu Pirus, Kelurahan MB Hulu, Kecamatan MB Ketapang. Ia tak memungkiri, bahwa dirinya salah. Ia khilaf. Ketika melakukan tindakan keji itu, emosinya tak terkontrol. Amarahnya meluap-luap.
Penyesalannya saat ini tak lagi dapat membantunya keluar dari jerat hukum. Ia kemudian berpikir dan mencoba bertahan, serta belajar menerima keadaan. Mau tidak mau, harus seperti itu.
Ketika Tri masuk sel, ia mendapati masih tersisa tiga tahanan di sana. Sagita Barna, Doni Ariansyah, dan Ali Abdurrahman adalah tiga rekan tahanan yang menyambutnya saat itu. Mereka berkumpul, duduk bersama, tidur bersama, makan bersama dan bersenda gurau bersama, sembari menghabiskan sisa waktunya di tempat itu.
Sel tahanan di Polsek Ketapang itu berukuran kira-kira 9 meter x 7 meter. Dindingnya dari beton dan pintu masuknya dari teralis besi. Ada tiga ruangan tanpa pintu di dalamnya. Kamar mandi, ruang depam dan ruang tidur. Di dekat teralis yang merupakan pintu masuk ke dalam sel, adalah bagian yang dipakai tahanan bertemu keluarga yang menjenguk mereka. Sekaligus menjadi tempat bersenda gurau sesama tahanan saat kejenuhan melanda.
Ketika dikunjungi koran ini pada Senin (11/12) siang, tahanan hanya tersisa dua orang saja. Selain Tri, di dalamnya hanya ada Ali. Sisanya sudah diserahkan ke Kejaksaan Negeri Kotim untuk melanjutkan proses hukum.
”Semakin sepi suasananya. Dulu ada empat orang di dalam sel ini, termasuk saya. Setelah yang lain pergi. Tersisa kita berdua saja di sini,” ujar Tri.
Malam hari adalah waktu yang paling tidak menyenangkan bagi kedua tahanan itu. Menurut mereka, ketika hari mulai gelap, nyamuk datang, angin semilir bertiup membawa dingin. Terpaksa, mereka menempelkan kaki dan tangannya bersama. Bahkan terkadang berpelukan untuk menciptakan hangat dari suhu tubuh keduanya.
Keadaan seperti itu selalu dirasakan setiap hari. Terkadang, keduanya tidak bisa tidur nyenyak. Terbayang kehidupan lain yang menanti ketika putusan hakim sudah ditetapkan. Kehidupan yang jauh dari keluarga, jauh dari sahabat, jauh dari gemerlapnya kehidupan kota yang pernah mereka rasakan ketika bebas dulu.
Saat ini, bagi Tri dan Ali, kenangan adalah musuh yang paling besar. Meskipun hal itu adalah baik, sekaligus penting untuk menimbulkan rasa penyesalan dan pertobatan. Namun, dengan mengenang, membuat hati mereka tak sanggup lagi menerima kenyataan diri sebagai seorang tersangka.
Oleh karena itu, keduanya memutuskan untuk tak bersahabat dengan memori dalam otak, membuang sedih dan melepas kenangan-kenangan itu. Tak ada lagi yang mampu membuat mereka bertahan selain rasa semangat dalam diri untuk berubah menjadi lebih baik.
”Yang susah itu kalau ingat saat di luar dulu. Sebelum masuk penjara, rasanya adem, nyaman dan bebas mau melakukan apa saja. Sekarang sudah beda situasinya. Mungkin, ini pesan buat semua orang yang masih menghirup udara segar di luar sana, bahwa melanggar hukum dengan tindakan apapun adalah hal bodoh yang dapat merenggut kebebasan kalian,” kata Ali, kemudian.
Ali merupakan tahanan yang masuk pada awal November lalu karena kasus kriminal di jalanan, yaitu jambret. Bagi Ali, apa yang dilakukannya dulu hanyalah sebuah kebodohan, sebuah kekonyolan karena menuruti hawa nafsu. Untuk itu, kini ia mulai sadar. Bahwa kehidupannya dulu bukanlah sebuah pilihan yang baik.
Kedua tahanan itu kini bersahabat. Mereka sering menghabiskan hidangan yang dikirimkan oleh keluarga masing-masing secara bersama. Terkadang, makanan pemberian dari petugas jaga di Polsek Ketapang juga mereka bagi.
Misalnya, ketika lauknya berbeda, daging ayam dan daging sapi. Ali yang tidak makan daging sapi memberikannya pada Tri. Begitupun sebaliknya, Tri yang mengetahui hal itu, tidak keberatan melakukan barter ayam yang dimilikinya untuk Ali.
Mereka kini lebih sering menghabiskan masa tahanan di tempat itu dengan bernyanyi, terkadang saling pijit memijit, bertukar pikiran, membahas perencanaan kehidupan masa depan mereka yang jelas gagal, serta mengumpulkan puntung rokok.
Puntung rokok itu kemudian mereka buka, tembakaunya diambil dan disatukan dengan puntung rokok yang lain untuk dijadikan satu lintingan yang kemudian mereka hisap secara bersama-sama.
Hal-hal kecil seperti itu yang membuat keduanya tak lagi memikirkan masa lalu. Karena bagi mereka, kesalahan adalah manusiawi. Yang tidak manusiawi, ketika orang mengulangi kesalahan itu berulang kali dan tidak belajar dari kesalahannya di masa lalu.
Ipda M Romadhon, Kanit Reskrim Polsek Ketapang adalah orang yang sering mendengar keluh kesah mereka. Ia melakukan itu untuk menghibur tahanan. Terkadang memberikan masukan dan nasehat. Sesekali memberikan makanan yang ia bawa.
Koran ini sempat mewawancarai Romadhon yang saat itu sedang berinteraksi dengan dua tahanan tersebut. Menurutnya, meskipun Tri dan Ali adalah pelaku kejahatan, namun sejatinya mereka adalah manusia biasa. Seperti kata dua tahanan itu, bahwa kesalahan adalah manusiawi. Maka perlakuan terhadap mereka juga harus manusiawi.
”Karena setiap orang berhak untuk hidup bebas dan bahagia. Walau kedua tahanan ini ditetapkan tersangka, tapi mereka juga manusia. Oleh karenanya, saya selalu memberikan masukan dan kerap mendengar kisah-kisah mereka. Kami tertawa dan bercanda bersama. Dengan begitu, mereka bisa menyadari kesalahannya dan diharapkan tak mengulanginya lagi jika suatu saat nanti bebas,” kata Romadhon. (ron)