Kehidupan yang sulit dan serba kekurangan masih dialami Sugianto Sabran dan keluarga di masa awal-awal hijrah ke Pangkalan Bun. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Sugianto harus menjual air minum dan menjadi buruh cuci piring di perusahaan Korindo.
ARJONI, Pangkalan Bun
Tahun 1981, keluarga besar Sugianto Sabran memutuskan hijrah dari Pembuang Hulu ke Pangkalan Bun, Kabupaten Kotawaringin Barat. Hal itu merupakan perpindahan terbesar bagi keluarga Sugianto Sabran, karena seluruh keluarga turut serta ke Pangkalan Bun.
Hijrah dilakukan karena Sugianto dan keluarga ingin mencari pekerjaan yang lebih baik dari sebelumnya. Mereka menginginkan penghidupan yang lebih layak di Pangkalan Bun. Hidup secara ”nomaden” dari desa ke desa tidak pernah letih dilakukan Sugianto dan keluarganya, hingga menetap di Pangkalan Bun.
Di masa awal hijrah, kehidupan Sugianto dan keluarga besarnya tidak banyak berubah. Sugianto tidak memiliki pekerjaan tetap. Dia terpaksa bekerja secara serabutan. Pekerjaan apa pun dilakukan Sugianto untuk memenuhi kebutuhan hidup di Pangkalan Bun, yang penting halal.
Menurutnya, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dia harus berusaha keras. Itu dilakukan Sugainto bersama keluarganya dengan berjualan air minum. Berkeliling kampung merupakan jadwal rutin Sugianto setiap hari, karena dia harus menjajakan air minum ke warung-warung dan warga.
Selain berjualan air minum, dia juga harus mencuci piring di perusahaan PT Korindo. Hasil keringatnya tersebut digunakan untuk membeli keperluan hidup, terutama beras. Jika air yang dijual tidak laku atau hanya sedikit yang laku, beras pun tidak akan terbeli.
”Untuk makan, saya harus berjualan air minum dan mengambil upah sebagai pencuci piring di perusahaan PT Korindo," ungkapnya.
Pernah, di masa sulit, Sugianto dan keluarga tidak makan nasi selama berminggu-minggu. Kondisi keuangan keluarga yang susah, membuat mereka tidak bisa membeli beras. Sebagai pengganti beras, Sugianto dan keluarga hanya memakan buah pepaya.
”Pernah saya dan keluarga bereminggu-minggu tak makan nasi, karena memang tidak ada uang. Mengganti nasi, kami hanya makan pepaya," tuturnya, pada acara reuni akbar MI dan MTs Tarmili Pangkalan Bun serta SMKN 1 Pangkalan Bun angkatan 1992/1994 dan SMEA Karya, Minggu (29/1) lalu.
Kondisi tersebut secara tidak langsung menempa mental dan semangat Sugianto untuk bekerja keras memperbaiki kehidupan. Meski kekurangan, Sugianto juga tidak pernah meninggalkan bangku sekolah.
Untuk membeli perlengkapan sekolah, dia tidak meminta kepada orangtuanya. Sugianto sadar, tidak mungkin membebani orangtuanya hanya untuk bersekolah.
Salah satu cara yang dilakukan agar dapat membeli perlengkapan sekolah adalah berjualan es dan kayu bakar. Pekerjaan itu dilakoninya sebelum berangkat dan pulang sekolah. Semua pekerjaan itu dilakukan atas kemauannya sendiri, tanpa paksaan dari siapa pun. Dia menanggalkan semua rasa gengsi dan malu agar bisa bertahan hidup seperti orang pada umumnya.
”Untuk membeli perlengkapan sekolah saya harus bekerja. Saya harus jualan es lilin dan jualan kayu bakar. Minta dengan orangtua tidak mungkin waktu itu. Yang saya pinta kepada kedua orangtua, hanya doa, karena doa orangtua sangat dahsyat dan insya Allah cepat dikabukan,” tuturnya.
Meski sekolah sambil bekerja, Sugianto tetap bisa meraih prestasi. Dia selalu masuk dalam peringkat lima besar di madrasah atau sekolah dasar (SD). ”Waktu madrasah atau SD itu, saya selalu masuk lima besar. Walau bekerja, saya tetap belajar,” ujarnya.
Kerja keras dan sikap pantang menyerah melekat dalam diri Sugianto Sabran sejak belum sekolah hingga lulus SMK di Pangkalan Bun. Bagi Sugianto, waktu sangat berharga untuk bekerja dan sekolah. Saat teman seusianya asik bermain dan menikmati keceriaan, Sugianto memilih bekerja keras, membanting tulang bersama keluarganya.
”Pulang sekolah, waktu SMK itu saya juga bekerja menjaga kolam ikan milik paman saya, H Abdul Rasyid. Karena memang sejak kecil terbiasa kerja, jadi waktu saja banyak dihabiskan untuk bekerja apa pun, yang penting halal,” kenangnya.
Ketekunan, keuletan, dan ketegaran Sugianto dalam mengarungi hidup dengan bekerja keras tersebut membuahkan hasil. Setelah lulus SMK, dia dipercaya memimpin perusahaan milik pamannya, H Abdul Rasyid. Rasyid merupakan pengusaha sukses dan kini tercatat menjadi orang kaya ke-37 di Asia. Dari situlah kehidupan Sugianto mulai berubah. Perlahan dia mulai sukses. (***/bersambung)