PANGKALAN BUN - Fenomena munculnya buaya di DAS Sungai Arut, Kecamatan Arut Selatan, Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar) akhir-akhir ini diduga karena habitat asli satwa dilindungi ini menyusut, terdesak oleh perluasan lahan untuk kepentingan manusia.
Kepala SKW II BKSDA Kalteng Agung Widodo menjelaskan, habitat buaya saat ini telah terdesak karena pembukaan lahan tambang dan aktivitas manusia lainnya. Dapat dipastikan lingkungan hidup buaya semakin tergerus, sehingga bila sebelumnya mereka aman dihabitat aslinya kini sudah berubah fungsi menjadi pemukiman masyarakat, areal perkebunan dan lain sebagainya. Akibatnya potensi konflik dengan manusia cukup terbuka.
“Yang pasti terdesak, susah mencari sumber makanan, akibatnya bisa timbul konflik dengan manusia,” ujar Agung, Kamis (22/11) kepada Radar Pangkalan Bun.
Seperti yang terjadi di awal tahun 2018 lalu, saat itu warga Desa Batu Agung, Kecamatan Seruyan Tengah, Kabupaten Seruyan menemukan buaya raksasa jenis senyulong (sepit) dengan panjang 5 meter dan bobot sekitar 1 ton di dekat Sungai Mengkahing yang merupakan anak Sungai Arut.
“Buaya yang pernah kita rescue dan terbesar sepanjang sejarah rescue kita, buaya itu kondisinya sudah terjepit, habitat aslinya sudah rusak,” imbuhnya.
Pemasangan perangkap buaya dengan umpan bebek hidup di DAS Sungai Arut diharapkan mampu memancing buaya yang sering muncul untuk segera di translokasi ke kawasan yang tidak satu jalur dengan Sungai Arut.
“Buaya memiliki sistem navigasi yang sangat bagus, misal buaya itu asalnya dari Sungai Arut, kita lepaskan di SM Lamandau masih satu jalur dengan Sungai Arut, maka dia akan kembali ketempat asal dia ditemukan, dan itu berbahaya bagi keselamatan warga setempat,” tandasnya.
Menurutnya, setelah dilakukan rescue, buaya tersebut harus direhabilitasi di lokasi rehabilitasi buaya milik OFI yang memiliki tenaga ahli dari Australia dengan perlakuan khusus untuk mengacaukan memorinya. “Sehingga apabila dilepasliarkan tidak akan kembali lagi ke tempat asalnya,” pungkasnya. (jok/sla)