SAMPIT | PANGKALANBUN | PALANGKA | KOTAWARINGIN | METROPOLIS | BARITO | GUMAS | DPRD SERUYAN

SAMPIT

Senin, 08 Februari 2016 13:14
Kisah Kelam Warga Tionghoa di Masa Orde Baru
PERSIAPAN IMLEK: Warga keturunan Tioghoa di Sampit saat mempersiapkan Imlek, Minggu (7/2). (FOTO: USAY NOR RAHMAD)

SAMPIT – Perayaan Imlek yang setiap tahun dirayakan warga keturunan Tionghoa, membuka sedikit memori  kelam. Tak banyak tahu, saat orde baru dulu mereka terbelenggu dan tak bebas menjaga tradisi leluhurnya, terlebih bagi agama Konghucu.

Belasan tahun lalu,  warga keturunan Tionghoa didiskriminasi. Mereka tak percaya diri bersosialisasi dengan masyarakat lainnya, khususnya bagi yang beragama Khonghucu. Karena itu, tak jarang banyak yang terpaksa mengaku beragama lain hanya untuk memperoleh status sebagai Warga Negara Indonesia (WNI).

Berdasarkan data Matakin Kotim, ada sebanyak 253 warga Kotim yang beragama Khonghucu, terdiri dari 134 orang perempuan dan 119 orang laki-laki. Keberadaanya tersebar di kota maupun di luar Kota Sampit.

Saat ini muncul kegelisahan baru, generasi beragama Konghucu semakin tergerus seiring berjalannya waktu, sehingga tradisi nenek moyang dikhwatirkan tidak ada yang meneruskan. Seperti di momentum Imlek ini, pengurus klenteng, kadang terpaksa harus mendatangkan dari luar Kota Sampit.

”Generasi muda kami di Sampit cuma sisa enam hingga tujuh orang. Saya rasa perayaan di Sampit tidak akan meriah,” katanya.

---------- SPLIT TEXT ----------

 Dikutip dari http://www.tionghoa.info/, jatuhnya rezim Orde Lama tidak serta merta membawa angin segar terhadap hilangnya diskriminasi rasial yang dialami oleh etnis Tionghoa di Indonesia. Nyatanya diskriminasi rasial terhadap etnis Tionghoa masih saja berlanjut pada masa Orde Baru. Diskriminasi terhadap orang Tionghoa ditempuh pemerintahan Orde Baru dilakukan dengan cara, diantaranya :

• Mengeluarkan kebijakan penandaan khusus pada Kartu Tanda Penduduk
• Tidak bolehnya warga etnis Tionghoa menjadi pegawai negeri serta tentara
• Pelarangan warga etnis Tionghoa untuk memiliki tanah di pedesaan dan masih banyak lagi pembatasan-pembatasan yang dilakukan terhadap etnis Tionghoa di Indonesia yang bersifat begitu mendiskreditkan serta mendiskriminasi. Kebijakan-kebijakan ini pun tentu saja secara otomatis merenggut hak asasi mereka sebagai warga negara Indonesia dan sebagai manusia.

Pada tanggal 7 juni 1967, Soeharto mengeluarkan surat edaran ‘Kebijakan Pokok Penyelesaian Masalah Cina’ yang isinya menyatakan bahwa etnis Tionghoa WNA yang beritikad baik akan mendapat jaminan keamanan dan perlindungan atas kehidupan, kepemilikan, dan usahanya.

 Surat edaran ini kemudian di tindak lanjuti dengan Keputusan Presiden pada Desember 1967 yang isinya menyatakan bahwa pemerintah tidak membedakan antara Tionghoa WNA dan Tionghoa WNI. Untuk menghindari eksklusifisme rasial maka pemerintah memilih untuk mengasimilasikan orang-orang etnis Tionghoa itu dan melakukan berbagai usaha untuk memutuskan hubungan mereka dengan leluhur mereka. Proses asimilasi ini terlihat dalam :

  1. Aturan penggantian nama
  2. Melarang segala bentuk penerbitan degan bahasa serta aksara Cina
  3. Membatasi kegiatan-kegiatan keagamaan hanya dalam keluarga
  4. Tidak mengizinkan pagelaran dalam perayaan hari raya tradisional Tionghoa di muka umum.
  5. Melarang sekolah-sekolah Tionghoa dan menganjurkan anak-anak Tionghoa untuk masuk ke sekolah umum negeri atau swasta.

---------- SPLIT TEXT ----------

Benang merah yang menjadi latar belakang terjadinya diskriminasi rasial di Indonesia sendiri adalah kepentingan politik ekonomi pemerintah di masing-masing masa. Di masa Orde Baru ini kata diskriminasi rasial nyaris tidak terdengar, dan memang tidak disebutkan, bahkan dilarang untuk diperbincangkan.

Rasisme diperhalus dengan istilah SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan). Implikasinya adalah segala hal yang berbau rasisme dikatakan SARA, yang berarti tidak boleh diributkan dan semua dibiarkan begitu saja, tanpa adanya tindak lanjut berarti dari pemerintah. Ini merupakan suatu kesengajaan yang dibuat pemerintah sekaligus bentuk rasisme yang paling kejam.

Pada masa Orde Baru pula tercatat ada 8 buah produk perundang – undangan yang sangat diskriminatif secara rasial terhadap etnis Tionghoa, yaitu :

  1. Instruksi Presidium Kabinet RI No. 37/U/IN/6/1967 tentang Kebijaksanaan Pokok Penyelesaian Masalah Cina.
  2. Surat Edaran Presidium Kabinet RI No. SE-36/Pres/Kab/6/1967 tentang Masalah Cina.
  3. Instruksi Presiden No.14/1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat istiadat Cina.
  4. Instruksi Presiden No.15/1967 tentang Pembentukan Staf Khusus Urusan Cina.
  5. Instruksi Mendagri No. 455.2-360 tentang Penataan Klenteng.
  6. Keputusan Kepala Bakin No. 031/1973 tetang Badan Koordinasi Masalah Cina.
  7. SK Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 286/1978 tentang Pelarangan Impor, Penjualan, dan Pengedaran Terbitan dalam Bahasa dan Aksara Cina.
  8. Surat Edaran Menteri Penerangan No. 02/SE/Di tentang Larangan Penerbitan dan Pencetakan Tulisan/Iklan Beraksara dan Berbahasa Cina.

---------- SPLIT TEXT ----------

Dari sini bisa dilihat bahwa fenomena Diskriminasi rasial terhadap etnis Tionghoa di Indonesia nampaknya sudah begitu sistematis. Tak hanya masyarakat di kalangan grassroot yang begitu keras dengan sentimen orang-orang Non-Pribumi tidak setia pada Negara, namun Pemerintahan di masa Orde Lama serta Orde Baru pun nampaknya cukup gencar menjadi pelumas semakin tajamnya diskriminasi ras terhadap etnis Tionghoa di Indonesia.

 Menjadi Kontradiksi yang begitu jelas juga ketika kita semua sudah mengetahui bahwa Indonesia memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika, dan Indonesia pun telah menyatakan diri sebagai negara Demokrasi yang seharusnya mengakui dan menjaga hak asasi manusia.

Namun diskriminasi yang terjadi terhadap etnis Tionghoa di Indonesia pada masa Orde Lama dan Orde Baru ini mau tak mau memunculkan pertanyaan tersendiri, kenapa pemerintah seolah-olah membiarkan dan bahkan mendukung adanya diskriminasi terhadap etnis Tionghoa di Indonesia?

Tidakkah mereka menyadari bahwa diskriminasi yang tejadi ini adalah wajah gelap dari serangkaian pelanggaran hak asasi manusia? Diskriminasi yang dialami oleh etnis Tionghoa di Indonesia ini jelas merupakan serangkaian pelanggaran hak asasi manusia yang dimiliki oleh etnis Tionghoa di Indonesia.

Padahal salah satu tujuan negara Indonesia yang tercantum pada pembukaan undang-undang dasar negara Republik Indonesia tahun 1945 adalah, melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia. Para etnis Tionghoa ini merupakan warga negara Indonesia.

Walaupun mereka orang keturunan (bukan asli indonesia) tapi mereka telah berasimilasi dan mereka merasa diri mereka adalah orang Indonesia. Bukannya  seperti perlakuan sentimen yang dilakukan oleh para orang pribumi.

Maka sudah selayaknya mereka mendapat perlakuan yang sama, dilindungi seperti warga negara Indonesia yang lain (pribumi); karena mereka juga bagian dari Bangsa Indonesia, Warga Negara Indonesia. (oes/tim)


BACA JUGA

Rabu, 09 September 2015 22:17

Dishub Diminta Tambah Traffic Light

<p><strong>PALANGKA RAYA</strong> &ndash; DPRD Kota Palangka Raya menilai sejauh…
Sitemap
  • HOME
  • HOT NEWS
  • NEWS UPDATE
  • KOLOM
  • RAGAM INFO
  • INSPIRASI
  • FEATURE
  • OLAHRAGA
  • EKONOMI
Find Us
Copyright © 2016 PT Duta Prokal Multimedia | Terverifikasi Dewan Pers