Oleh: Gunawan
Suara di ujung telepon itu agak serak. Wanita lebih setengah abad itu bertanya, ”Apa di Sampit juga dikepung asap? Sulit sekali bernapas sekarang. Tenggorokan sakit.”
”Pakai masker susah. Hidung gatal jadinya. Biar saja menghirup asap begini,” ujar wanita 61 tahun itu.
Petikan percakapan itu terjadi menjelang malam. Minggu (6/9). Wanita di ujung telepon itu baru sadar parahnya polusi udara akibat karhutla ketika asap menyusup masuk ke ruang-ruang tempatnya berlindung.
Beberapa hari sebelumnya, dia tak mengetahui asap hampir sepanjang hari mengepung Palangka Raya karena nyaris tak pernah keluar rumah. Penyakit gula dan komplikasi lainnya, membuat daya tahan tubuhnya menurun jauh.
Badannya kurus. Selain digerogoti gula, usia yang kian senja juga turut berperan besar mengubah postur tubuhnya dalam sepuluh tahun belakangan. Belum lagi penglihatan yang juga agak kabur, sehingga dia tak ada pilihan selain di rumah seharian.
Jadi, wajar apabila wanita itu bertanya kondisi asap yang dirasakannya kian menyengat. Dan menyiksa.
Polusi udara di Palangka Raya memang telah menyentuh level berbahaya. Rasa sesak tak hanya dirasakan wanita di ujung telepon itu. Tapi juga ratusan ribu warga lainnya. Asap karhutla telah merampas hak asasi paling mendasar manusia; menghirup udara bersih.
Peristiwa yang sama juga pernah terjadi empat tahun silam. 2015 lalu. Suasana kota bahkan sampai menguning. Saking parahnya. Sejumlah orang bertumbangan. Pingsan. Tak kuat menahan gempuran asap. Bahkan, teman saya bercerita, kucing juga banyak yang mati menghirup udara beracun saat itu.
Kini, bencana yang sama kembali menyapa. Warga lagi-lagi dipaksa berdamai dengan situasi. Mengeluh pun percuma. Asap sudah mengepung di sana-sini. Jeritan, keluhan, kecaman, silih berganti mewarnai linimasa hari-hari ini. Berharap suara didengar mereka yang punya kuasa.
***
Cover surat kabar harian Radar Sampit edisi Senin (16/9) jadi viral. Karikatur Presiden RI Joko Widodo dengan latar kabut asap, menggunakan masker yang menutupi mata, beredar luas di media sosial.
Ada beragam respons menyikapi cover itu. Sebagian publik di Kalteng merasa aspirasinya terwakili. Ada pula yang mengkritisi. Mengaitkan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Radar Sampit dianggap menghina simbol negara.
Benarkah demikian? Benarkah karikatur Presiden itu mengandung unsur kebencian? Apakah Radar Sampit tak lagi menghargai simbol negara? Apakah ada unsur dengki memuatnya?
Saya yakin semua punya jawaban masing-masing. Silakan. Itu hak Anda. Saya tak mau berdebat tentang itu. Yang sakit hati silakan. Yang mendukung, ayo terus viralkan.
Perlu pertimbangan besar menampilkan karikatur Presiden Jokowi dengan gaya seperti itu. Pun demikian dengan berita utama dengan judul ”Omong Kosong Presiden”.
Kondisi bangsa hari-hari ini jadi penyebabnya. Tak sedikit mereka yang membuat karikatur Presiden saat mengkritiknya berujung perkara. Dianggap menghina dan lain sebagainya.
Contoh paling baru, cover majalah Tempo yang menampilkan karikatur Presiden dengan bayangan hidungnya yang memanjang (seperti pinokio, kisah fiktif anak yang gemar berbohong), dilaporkan ke Dewan Pers. Dianggap menghina simbol negara.
Tentu saja Radar Sampit sudah memetakan berbagai risiko itu. Termasuk bagaimana menangkisnya. Khususnya apabila ada pihak-pihak yang memperkarakan.
Akan tetapi, perlu juga publik ketahui. Radar Sampit mengambil risiko besar itu, untuk menyampaikan kegelisahan orang ramai. Penggambaran karikatur tak muncul begitu saja. Ide itu lahir setelah melihat keluhan sana-sini warga di linimasa. Termasuk kritikan terhadap pemerintah terkini.
Berita utama yang terkesan menyerang Jokowi, juga perwujudan kegelisahan warga. Diperkuat dengan pernyataan Presiden sebelumnya yang nyaris tanpa tindak lanjut nyata. Presiden merupakan pemegang kewenangan tertinggi negeri ini. Isu karhutla juga jadi jualan saat bersaing dengan Prabowo-Sandi.
Menengok sedikit ke belakang, Radar Sampit sudah berupaya menggugat peran pemerintah dengan menampilkan cover seorang anak menggunakan masker dengan tangis di matanya, akibat perihnya asap, Jumat, 13 September lalu. Ilustrasi itu diperkuat dengan judul headline dengan pesan sangat mendalam, ”Tolong Selamatkan Kami!”.
Ternyata, cara halus itu belum cukup. Kami perlu lebih keras mengkritik agar lebih didengar. Hasilnya, cover itu jadi viral. Lebih banyak tersebar dibanding cover sebelumnya.
Melalui upaya itu, Presiden diharapkan memalingkan muka untuk Kalteng. Sebagian publiknya merasa jadi anak tiri, karena bantuan lebih maksimal dikerahkan untuk Riau. Hal itu juga yang mendasari munculnya tanda pagar #jokowilihatkalteng.
Peran pemerintah perlu digugat agar lebih serius menangani bencana asap. Mereka punya semua sumber daya untuk melakukan segalanya. Punya juga kekuatan memaksa melalui hukum-hukumnya.
Tak salah kita mengkritik kinerja pemerintah yang nyaris sama setiap tahunnya. Tak ada perubahan siasat menghadapi bencana. Alih-alih mengakui kegagalan, malah gencar mencari kambing hitam. Mulai dari isu pemindahan ibu kota, sampai politik menjelang pilkada.
Celakanya, pasukan yang berjuang menggempur api dilengkapi peralatan seadanya. Masker yang mereka gunakan bukan standar pemadam. Nyaris sama seperti masker ”murahan” yang dipakai orang-orang di jalanan. Padahal, mereka bertaruh nyawa bertarung di garis depan. Perhormatan tertinggi layak kita berikan pada mereka.
Saya pernah menulis tentang bencana ini tahun 2015 lalu. Juga upaya melawan bencana. Panjang lebar. Termasuk kritikan terhadap pemerintah. Jejaknya digitalnya masih ada. Judulnya; ”Pelajaran Berharga untuk Semua”. Namun, ternyata kondisinya masih sama.
Radar Sampit juga tak lelah mengkritik minimnya dana penanganan bencana yang digelontorkan pemerintah daerah setiap tahunnya. Alarm tanda bahaya terulangnya bencana 2015 juga sudah dibunyikan. Tapi apa daya, penentu kebijakannya bukan di tangan media.
Cover bergambar Jokowi yang agak ”nakal” itu boleh jadi menguji rasa kemanusiaan. Apakah mau mempermasalahkan cover itu, atau substansinya? Ada nyawa ratusan ribu warga yang jadi taruhannya. Semoga suara mereka yang tersiksa didengar penguasa. (gunawan.radarsampit@gmail.com)