Suprianti Rambat digadang-gadang menjadi kandidat kuat Bupati Kotawaringin Timur. Perempuan yang akrab disapa Bu Rambat ini dikenal sebagai pengusaha sukses di bidang properti dan perhotelan di Kota Sampit.
Tak banyak yang tahu bahwa Suprianti Rambat berasal dari keluarga sederhana. Bahkan, perempuan kelahiran September 1966 ini pernah berjualan kerupuk semasa remaja.
Untuk mengenal lebih jauh, Radar Sampit mewawancarai Suprianti Rambat di ruang kerjanya, Kamis (31/10) pekan lalu.
Suprianti Rambat merupakan putri pasangan Wongsodikoro dan Sutiyem yang tinggal di Dusun Tegal Mijen, Kelurahan Bulan (Delanggu), Kecamatan Wonosari, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Wongsodikoro sebagai petani, sedangkan Sutiyem setiap hari berdagang beras.
Pasangan suami istri itu memiliki enam anak, yakni Arif Suparno (almarhum), H Suparman (pengusaha sukses di Banjarbaru), Sulastri (almarhumah), Hj Ngadinem (pengusaha sukses batako), Ayunah (pengusaha sukses), dan Hj Suprianti.
”Ibu Sutiyem (Alm) seorang wanita yang sangat gigih dalam usaha. Setiap hariannya beliau selalu bangun saat subuh untuk mempersiapkan barang dagangannya guna dibawa ke Pasar Delanggu, beliau jualan beras kurang lebih sampai jam sebelas siang,” kata Suprianti saat menceritakan pekerjaan ibunya.
Sesampai di rumah, Sutiyem mengumpulkan beras dari rumah ke rumah, dari kampung ke kampung. Beras yang terkumpul dijual keesokan harinya.
Tak peduli kandungan sudah sembilan bulan, Sutiyem tetap berjualan di pasar. Pada suatu pagi, Jumat Kliwon, September 1966, saking asyiknya berjualan, Bu Sutiyem tak menyadari bayi akan lahir. Karena tak sempat dibawa ke tempat persalinan, akhirnya dia melahirkan di tengah hiruk pikuk masyarakat yang sedang berbelanja di Pasar Delanggu. Tangisan bayi yang diberi nama Suprianti itu menggegerkan warga pasar.
Meski dengan ekonomi pas-pasan, pasangan Wongsodikoro dan Sutiyem membesarkan enam anaknya dengan penuh semangat. Mereka berusaha mendidik serta menyekolahkan anak–anaknya. Karena keadaan ekonomi keluarga yang serba terbatas, maka anak pertama, kedua, dan ketiga meratau ke Banjarmasin. Perbaikan ekonomi pun didapatkan ketika ketiga anaknya hijrah ke Kalimantan. Beban keluarga pasangan Wongsodikoro dan Sutiyem terbantu oleh anak-anaknya.
Melihat anaknya sukses di tanah rantau, Wongsodikoro dan dua anak yang nomor empat dan lima menyusul ke Kalimantan Selatan. Sementara istrinya dan anak bungsu tetap tinggal di Desa Tegal Mijen, Delanggu, Klaten, Jawa Tengah, melanjutkan usaha dagang beras.
Pada tahun 1977, berangkatlah si bungsu (Suprianti) dan ibunya menyusul bapak dan saudara-saudaranya ke Kalimantan Selatan. Suprianti dan ibunya rela meninggalkan usaha dagang beras di Solo demi kumpul keluarga. Orang tuanya pun beralih pekerjaan dari jualan beras menjadi jualan aneka makanan, antara lain rujak, mie goreng, kolak.
Suprianti melanjutkan pendidikannya di SDN Trisila Kampung Gadang, Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Di sela-sela waktunya sekolah, Suprianti kecil yang baru berusia 11 tahun sudah mulai membantu ekonomi keluarga.
Setelah pulang sekolah, Suprianti menganduk (mengambil dagangan) dari perusahaan kerupuk di Asrama Tatas, tepatnya sekarang di belakang Masjid Sabilal Mutadin. Di situlah dia mengambil kerupuk yang selanjutnya dijual di sepanjang jalan sampai di rumahnya, Jalan Pahlawan (Kampung Melayu Darat), Gang IAIN RT. 12 No. 10, Kompleks Kebun Bayam, Banjarmasin.
Sisa kerupuk yang belum laku, dibungkus untuk dijual kembali keesokan hari di Pasar Kuripan Banjarmasin. Jika sampai waktunya sekolah tiba namun kerupuk tidak habis, kerupuk dititipkan di warung-warung langganan bocah itu. Sampai-sampai, beberapa pemilik warung yang sering dititipi menjadikan Suprianti kecil sebagai anak angkatnya.
Perempuan 11 tahun yang masih duduk di kelas 5 SD itu piawai membagi waktu sekolah dan cari uang. Kegiatan tersebut berlangsung sampai bocah tersebut duduk di Sekolah Menengah Pertama (SMP). Tidak cukup hanya jualan kerupuk, Supriyanti juga tergolong rajin membantu orang tua tanpa meninggalkan sekolahnya.
Setelah salat subuh, anak gadis tersebut mulai mempersiapkan bahan-bahan dagangan yang akan dimasak ibunya. Seperti meracik bumbu, merendam mie, merajang gatot, merendam ketan, goreng bawang, dan menata barang dagangan. Itu dilakukan sebelum berangkat sekolah. Sepulang sekolah, Suprianti harus membantu orang tua bekerja memasak kue-kue tradisional, antara lain sawut, pisang goreng, ketan, dan lain–lain.
Suprianti yang semestinya bisa menikmati waktu bermain, lebih memilih membantu ibunya. Keadaan tersebut berlanjut sampai lulus Sekolah Menengah Atas (SMA). Suprianti yang beranjak remaja selalu sibuk kerja dan belajar, mulai bangun tidur sampai tidur lagi. Tidak ada waktu bermain.
Pada 7 Mei 1986, luluslah Suprianti dari SMA Negeri 5 Sungai Jingah Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Anak tersebut melanjutkan ke salah satu sekolah perguruan tinggi di Kalimantan Selatan, yaitu Akademi Sekretaris Manajemen Indonesia (ASMI). Namun, Suprianti hanya kuliah selama satu semester. Dia pindah untuk mengikuti dua kakaknya yang sudah lebih dulu berdomisili di Sampit, yaitu Ngadinem (Bu Slamet) dan Ayunah.
Setiba di Sampit, Suprianti langsung mendaftarkan diri di STIE Sampit sebagai mahasiswa pindahan. Di samping kuliah, dia juga kembali jualan kerupuk dengan kulakan dari pabrik kerupuk milik kakaknya (Bu Slamet). Di situlah Suprianti muda menjajakan kerupuk ke berbagai toko yang ada di Sampit. Seperti Toko Sumber Alam, Toko Tunas Jaya, Toko Merdeka, Toko Maluku, dan banyak lagi.
Pada tahun 1988, di sela-sela jualan kerupuk, Suprianti berusaha menjajakan barang-barang dagangan ke kampung-kampung, antara lain seperti pakaian, perlengkapan rumah tangga, bahkan juga perhiasan.
Kisah Cinta Suprianti dan Rambat
Selama di Sampit, ternyata ada prajurit TNI AD Kipan A 631 Sampit yang diam–diam memperhatikan Suprianti. Tentara bernama Rambat itu memberi perhatian khusus yang ujung-ujungnya menyampaikan perasaannya pada 18 Oktober 1986.
”Di situ bingung karena sejujurnya saya sudah mempunyai pacar. Namanya rahasia, ya,” ujar Suprianti.
Dengan kegigihannya, Rambat akhirnya sukses meluluhkan hati Suprianti. Karena takut kehilangan gadis pujaannya, Rambat segera mengajak Suprianti bertunangan pada 16 Oktober 1987 di Sampit, tepatnya di Jalan Agatis, Kelurahan Mentawa Baru Ketapang.
Dengan aktivitas keseharian Suprianti yang padat, Rambat tetap lihai memanfaatkan situasi. Dia membantu apa yang bisa dia lakukan agar selalu dekat pujaan hatinya. Mulai membantu menjemur kerupuk, menggoreng, membungkus, hingga menjajakan kerupuk.
Karena sudah terbiasa menghabiskan waktu bersama dengan Rambat, Suprianti tidak punya kesempatan memilih pemuda lain. Padahal, banyak teman-teman kuliah, tetangga, bahkan cinta pertamanya.
Suprianti juga tidak kuasa menolak ajakan Rambat untuk menikah. Akhirnya, 18 Oktober 1988, Suprianti dan Rambat menikah di Jalan Agatis, Kelurahan Mentawa Baru Ketapang. Sejak saat itu, Suprianti menjadi anggota Persit Kartika Chandra Kirana Ranting Kipan A 631 Sampit.
Membangun Bisnis Properti
Walaupun sudah berkeluarga dan suami menafkahi, aktivitas keseharian Suprianti masih sama. Dia tak mau berdiam diri dan menerima gaji dari suami. Apalagi dia berkeinginan memiliki rumah sendiri. Suprianti tak ingin lagi menumpang di rumah kakak-kakaknya.
Sedikit demi sedikit Suprianti dan suami mengumpulkan pundi-pundi dari hasil usahanya untuk dibelikan sebidang tanah, bahan bangunan berupa kayu ulin dan bengkirai. Akhirnya pada tahun 1990-an, cita-cita terkabul, yakni memiliki rumah sendiri.
Berkat kegigihannya, usahanya semakin berkembang. Suprianti berhasil menabung dalam bentuk sebidang tanah seluas satu hektare yang perolehannya didapat dengan cara menyicil. Setelah lunas, tanah tersebut dikapling-kapling untuk dijual secara kredit. Namun, tanah kaplingan tidak laku. Di situlah Suprianti mencari cara menjual tanah tersebut.
”Alhamdulillah pada suatu hari, saya dan suami berbincang dengan Pak Arson F Anggen, tetangga kami. Beliau menyarankan agar tanah kaplingan itu dibuat perumahan. Lalu kami diarahkan ke Bank BTN untuk kerja sama,” ujar Suprianti.
Berbekal modal ala kadarnya, Suprianti meniti usaha baru dengan nama PT Wengga Abadi Griya Perdana. Perumahan pertama dibangun sebanyak 55 unit yang berlokasi di Kompleks Perumahan Gunung Bromo 1 dan 2 Blok B dan C. Setelah melalui proses panjang, mulai dari mengurus perizinan, pembangunan rumah, hingga administrasi perbankan, PT Wengga Abadi Griya Perdana bisa merealisasikan kredit pemilikan rumah tersebut pada Mei 1996.
Berawal dari Kompleks Bromo dengan rumah sebanyak 55 unit, berkembang ke Blok D dan E. Total unit di Blok B, C, D, dan E sebanyak 115 unit rumah.
Suprianti kembali mengembangkan lokasi Sangga Buana sebanyak 20 unit, lalu ke Jalan Bukit Raya sebanyak 250 unit pada tahun 1997, lalu Jalan Sawit Raya dan Jalan Arjuno dengan ribuan unit pada tahun 1998.
Tak puas sampai di situ, Suprianti melanjutkan usahanya ke Kompleks Pandawa, Tidar, dan Bukit Permai dengan masing-masing lokasi mencapai ribuan unit. Begitu pula dengan pembangunan di luar kota yaitu Kotabesi, Samuda, Parenggean, dan Kereng Pangi, yang semua dibangun pada tahun 1999-2000-an.
Hasil keuntungan bisnis perumahan digunakan membangun rumah di Jalan Tjilik Riwut yang kini menjadi Hotel Wella. Berdirinya Hotel Wella pun tak disangka-sangka. Awalnya Hotel Wella adalah sebuah rumah tinggal. Waktu itu pemerintah daerah sedang merenovasi rumah jabatan Bupati Kotim, sehingga tamu-tamu daerah dititipkan di rumah Suprianti. Untuk melegalkan titipan tamu pemerintah daerah, Suprianti mengurus izin untuk mengubah IMB dari rumah tinggal menjadi IMB Hotel.
”Hotel Wella diresmikan pada 10 Agustus 2000. Tanggal tersebut diambil dari tanggal kelahiran anak pertama saya yang bernama Wella,” ujar Suprianti.
Bisnisnya ternyata tak selalu berjalan mulus. Tragedi Sampit tahun 2001 membuat usaha perumahan drop. Jangankan jualan, rumah yang ada saja justru ditinggalkan penghuninya. Suprianti juga sempat berpikir meninggalkan Sampit.
Saat penjualan rumah anjlok, tingkat hunian hotel justru meningkat lebih dari 200 persen. Hal tersebut berjalan selama beberapa tahun.
Ketika situasi semakin membaik, Suprianti mencoba memulai membangun usaha perumahan lagi di tahun 2004 di Wengga Jaya Agung dengan jumlah ribuan unit. Pembangunan perumahan berlanjut ke lokasi lain, Tidar Baru, Metro Muara, dan Pandawa Season 2.
Tak hanya di Sampit, Suprianti juga merambah bisnis perumahan ke luar daerah, antara lain Pangkalan Bun, Palangka Raya, dan Banjarmasin.
Tak puas menggarap 1,2 hektare hingga 10 hektare, Suprianti mengembangkan lokasi perumahan hingga ratusan hektare, baik di Sampit maupun Kalsel. Wengga Metropolitan merupakan kawasan perumahan terbesar di Kalteng dengan luas 400 hektare. Saat ini, ribuan rumah di Wengga Metropolitan sudah dihuni. Pembangunan masih terus berjalan.
Di Kalsel, Suprianti juga berhasil merealisasikan sekitar 50 ribu unit rumah yang tersebar di Banjarmasin maupun di Banjarbaru.
Di sektor perhotelan, Suprianti tak hanya fokus mengelola Hotel Wella. Berbekal pundi-pundi penghasilan dari perumahan, dia membangun Werra Resort di Jalan Sudirman Sampit yang diresmikan di tahun 2013.
Minimnya tempat wisata di Sampit pun menjadi peluang bisnis baru Suprianti. Ibu tiga anak ini membangun wahana wisata bernama Sampit Waterpark yang diresmikan 7 Mei 2015. Lokasinya menjadi satu dengan Perumahan Wengga Metropolitan.
Kini, keseharian Suprianti tidak disibukkan jualan kerupuk atau jualan pakaian keliling. Wanita yang lahir di tengah Pasar Delanggu itu berhasil menciptakan kawasan permukiman baru untuk masyarakat kelas bawah maupun menengah. Dia juga turut berperan mendukung pemerintah menjadikan Sampit sebagai kota wisata melalui usaha perhotelan dan waterpark.
”Meski sibuk mengurus perumahan, hotel, dan wahana wisata, namun prioritas pertama saya tetap keluarga dan anak–anaknya,” kata ibu dari Wella, Wengga, dan Werra ini.
Setelah malang melintang di bisnis properti, kini Suprianti ingin berkiprah di kancah politik. Dia akan mencalonkan sebagai Bupati Kotim. Sejauh ini, Suprianti tercatat telah mendaftar ke Partai Gerindra, NasDem, dan Golkar.
Keinginannya maju dalam Pilkada Kotim karena melihat ekonomi masyarakat yang masih di bawah standar. Dia merasa terpanggil meningkatkan ekonomi masyarakat yang belakangan ini dinilai cenderung terabaikan. (yit)