SAMPIT – Masa tenang pilkada diwarnai kabar permainan politik uang. Sejumlah warga secara terang-terangan menantikan ”uang kaget” dalam pesta demokrasi itu. Praktik kotor tersebut diyakini marak dalam Pilkada Kalteng maupun Kotim.
”Mana nih, tak ada bagi-bagi duit para paslon? Biasanya pilkada ramai bagi-bagi duit,” kata Roby, salah seorang warga Sampit.
Roby mengaku menanti tim pemenangan paslon mengetuk rumahnya. ”Belum ada ketuk-ketuk ke rumah. Kalau iming-iming bantuan bahan pokok, baju, brosur, dan gantungan kunci sudah sering dapat,” ujarnya.
Masrur, warga Baamang, mengaku pernah ditawari sejumlah uang untuk memilih paslon pilkada. Dia pun dengan senang hati menerima uang tersebut. ”Dikasih duit ya terima saja. Tetapi, penentu kita memilih siapa itu kan hanya kita yang tahu,” kata Masrur.
Menurut Masrur, tak ada salahnya warga menerima uang yang ditawari paslon atau timnya, karena tak ada aturan hukum yang menyebutkan bahwa penerima bisa ditindak secara hukum. Apalagi sebagian masyarakat tidak mampu memang sangat memerlukan uang untuk melanjutkan kehidupan.
”Kami ini masyarakat tidak mampu. Kalau ditawarkan yang seperti itu, ya siapa yang mau menolak? Apalagi di masa pandemi Covid-19 seperti ini, mencari penghasilan serba susah,” katanya.
Meski isu politik uang kian santer diperbincangkan, warga tak berpikir melaporkan diri telah menerima sejumlah uang. Mereka seolah bekerja sama dengan tim yang membagikan uang tersebut untuk memuluskan operasi senyap pemenangan paslon jelang pencoblosan tersebut.
”Sudah ada kawan yang dikasih diam-diam dengan maksud supaya memilih paslon yang bersangkutan. Kalau saya sih belum pernah ditawari. Kalau ada yang memberi (uang), saya terima saja,” tutur Ridho.
Terpisah, Ketua Bawaslu Kotim Muhamad Tohari mengatakan, selama masa kampanye hingga memasuki masa tenang pada Minggu (6/12), pihaknya rutin melakukan patroli siang dan malam dan lebih terkonsetrasi pada patroli malam hari hingga waktu subuh.
”Patroli sudah kami lakukan secara rutin dengan mendatangi setiap kerumunan massa, seperti di pos ronda, warung kopi, angkringan, kafe, dan mengajak masyarakat agar menolak praktik politik uang, politisasi sara, hoaks, dan menyebarkan brosur berisi pesan-pesan penegasan berkaitan dengan politik uang,” kata Tohari.
Selain itu, Bawaslu Kotim menyasar titik lokasi yang berpotensi terjadi pelanggaran, seperti wilayah permukiman padat penduduk, tempat hiburan, dan tempat tongkrongan.
”Kami terus memastikan setiap pengawas TPS melakukan patroli di wilayah TPS-nya masing-masing. Patroli di masa tenang dilakukan secara terbuka dengan menampilkan identitas sebagai pengawas, atribut, dan tanda pengenal yang wajib dikenakan selama bertugas,” ujarnya.
Tohari menuturkan, setiap kegiatan patroli yang dilaksanakan jajaran di bawah Bawaslu, diharapkan dapat berkoordinasi dengan aparat keamanan dan melaporkan hasil patroli kepada pihaknya.
Di sisi lain, Tohari mengungkapkan, ada indikasi pelanggaran yang menjurus ke politik uang yang dilakukan salah satu paslon Pilkada Kotim. ”Ada salah satu paslon yang saat ini sedang diproses oleh Gakkumdu. Indikasi pelanggarannya bukan politik uang, tetapi lebih tepatnya termasuk dalam pembagian materi lainnya yang berpotensi melanggar. Apalagi jika itu dilakukan di masa tenang,” ujarnya.
Lebih lanjut Tohari mengatakan, UU 10 Tahun 2016 Pasal 73 Ayat (4) menyatakan, anggota parpol, tim kampanye, dan relawan atau pihak lain dilarang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum dengan menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga yang bersangkutan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Selain itu, aturan mengenai politik uang termuat dalam UU Pemilu Tahun 2017 yang terdiri dari Pasal 278, 280, 284, 515, dan 523. Dalam aturan tersebut, larangan politik uang dimaksud yakni tim kampanye, peserta pemilu, dan penyelenggara pemilu selama masa kampanye. Jika dalam prosesnya ada operasi tangkap tangan, yang bersangkutan bisa disanksi pidana 3-4 tahun hingga denda Rp 36 - Rp 48 juta.
”Aturan ini hanya berlaku bagi pemberi, bukan penerima. Jadi, masyarakat yang selama ini pernah ditawarkan jangan pernah takut melaporkan ke Bawaslu, karena penerima tidak akan dikenakan sanksi dan identitas penerima juga akan dilindungi,” ujarnya.
Sementara itu, ketentuan mengenai sanksi pidana berkaitan dengan politik uang juga dijelaskan dalam Pasal 187 Ayat (1) yang menyebutkan, setiap orang yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan untuk memengaruhi pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu diancam paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling banyak Rp 1 miliar.
”Apabila paslon atau tim paslon terbukti melakukan politik uang, bisa dikenakan sanksi administratif kepada paslon hingga pembatalan atau didiskualifikasi sebagai calon kepala daerah,” tandasnya. (hgn/ign)