SAMPIT – Praktik politik uang yang terjadi di setiap pilkada sudah menjadi hal yang dianggap biasa bagi sebagian masyarakat. Kurangnya pendidikan politik dan lemahnya mental masyarakat membuat permainan politik uang menjadi budaya yang mengakar.
Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) mengatakan, politik uang yang dilakukan kontestan pilkada dan pemilih dapat terjadi karena banyak faktor, seperti kurangnya pendidikan politik, kondisi perekonomian masyarakat yang jauh dari kata sejahtera, dan politisi yang tidak beretika.
”Kurangnya pendidikan politik membuat lemahnya mental masyarakat yang memicu rusaknya sistem demokrasi di Indonesia tak berjalan dengan baik,” kata Muhamad Tohari, Senin (7/12).
Pola pikir yang tak dibentuk sedari awal membuat masyarakat menganggap tindakan memberi dan menerima uang dari paslon menjadi halnya biasa. Masyarakat berpikir, di mana ada pemilu atau pilkada, di situ ada transaksi. Bahkan, masyarakat justru menanti kedatangan serangan fajar.
”Mengedepankan etika, memperkuat pendalaman pendidikan politik ini yang perlu ditekankan bagi penyelenggara, kontestan pilkada dan masyarakat itu sendiri,” ujarnya.
Menyadari sikap masyarakat yang demikian, Tohari menjelaskan, dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 187A dijelaskan, setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum dengan menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada masyarakat secara langsung maupun tidak langsung untuk memengaruhi pemilih agar tidak menggunakan hak pilih dengan cara tertentu, sehingga membuat suara menjadi tidak sah dapat dikenakan sanksi jeratan pidana paling lama 72 bulan dan paling singkat 36 bulan dan membayar denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
”Sanksi ini berlaku bagi pemberi dan juga penerima. Bagi masyarakat yang ditemukan menerima uang atau materi lainnya oleh salah satu paslon dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum dapat dikenakan pidana yang sama,” pungkasnya.
Sementara itu, Komisi I DPRD Kotim SP Lumban Gaol menilai Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kotim tak memperlihatkan kompetensi dalam mengungkap politik uang. Hal itu sama saja memperlihatkan kinerja mereka tidak bisa diharapkan untuk mencegah dan meredam politik uang dalam pilkada.
SP Lumban Gaol meminta Bawaslu agar tidak hanya pencitraan di media, namun harus membuktikan semua yang dikatakan. ”Sebaiknya Bawaslu tidak hanya sekadar pencitraan di media, karena semua orang tahu, bahkan orang awam pun tahu bahwa pilkada ini sangat rentan dengan peredaran uang dari paslon. Yang kita nantikan adalah aksi tangkap dan proses, jangan sekadar komentar,” ujar Lumban Gaol.
Dengan demikian, pihaknya berharap Bawaslu Kotim benar-benar menjalankan tugas sebaik-baiknya dan tidak terkesan hanya mengawasi paslon tertentu saja. ”Buktikan agar masyarakat percaya pada kinerja Bawaslu. Kalaupun ada tangkapan dari salah satu paslon, harus ada juga dari paslon lain, karena disinyalir semua paslon di Kotim ini ada mengarah ke money politik," katanya.
Dia melanjutkan, Bawaslu harus mengawasi semua paslon dengan adil dan maksimal agar apa pun bentuk pelanggaran yang dilakukan tidak hanya tercium, namun bisa dibuktikan. Dia melihat dengan susunan personel Bawaslu hingga ke tingkat TPS sejatinya bisa menangkap dan menyeret pelaku politik uang.
Catatan Radar Sampit, Bawaslu Kotim pernah menangkap pelaku politik uang dalam pileg tahun 2014. Saat itu hanya menyentuh pemberi dan terbukti bersalah dan divonis penjara oleh Pengadilan Negeri Sampit. (hgn/ang/ign)