SAMPIT – Penangkapan terhadap M Abdul Fatah, warga Desa Ayawan, Kecamatan Seruyan Tengah, Kabupaten Seruyan oleh penyidik Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Kalimantan Seksi Wilayah I Palangka Raya membuat ketakutan tersendiri bagi warga di desa itu.
Warga khawatir lahan yang dimiliki sejak lama, tiba-tiba ditersangkakan seperti kasus yang menimpa Abdul Fatah yang dituding menggarap kawasan hutan produksi. ”Kami khawatir ini permulaan yang buruk, bisa mengancam keberlangsungan masyarakat di tempat kami,” kata Masli, warga Desa Ayawan.
Masli menjelaskan, pihaknya sejak turun-temurun telah memiliki dan menguasai lahan serta permukiman di desa itu. Namun, belakangan, tiba-tiba saja mendapat kabar bahwa areal mereka masuk kawasan hutan produksi yang menyeret kerabat mereka.
”Sedari dulu saya sudah ada disitu dan sampai saya menikah. Lahan itu milik ayah saya dari nenek moyang. Itu bukan hutan hanya belukar saja. Penggarapannya sejak tahun 70-an atau 80-an,” ujarnya.
Masli menegaskan, lahan yang bermasalah dan diklaim Gakum LHK masuk dalam kawasan hutan produksi tersebut tidak pernah dipindahtangankan. Baik ke perorangan maupun perusahaan. Bahkan, selama ini mereka hidup damai dan tentram dengan berusaha di atas lahan itu sebagai petani.
”Lahan tersebut selama ini tidak pernah dipindahtangankan ke perusahaan manapun. Bahkan, tidak ada aktivitas penanaman apa pun dari perusahaan. Memang murni masyarakat saja,” ujar Maslih.
Di lahan warga itu, lanjutnya, ada yang menanam kelapa sawit, rotan, dan karet. Komoditas itu menjadi andalan untuk bertahan hidup secara ekonomi. Namun, belakangan kehidupan mereka terusik dengan penangkapan salah satu warga mereka yang dianggap menggarap hutan produksi.
”Dari pemerintah setempat sejak dulu juga tidak ada sosialisasi terkait lahan industri. Kami masyarakat akan terus maju,” ujarnya.
Sebagai masyarakat bawah yang hanya berprofesi petani, mereka berharap ada kepastian dan keadilan hukum bagi kerabat mereka yang sudah ditahan. ”Harapan kami, kasus ini harus dituntaskan sebaik mungkin. Tolonglah apa yang menjadi harapan kami masyarakat ini, karena lahan kami digusur,” ujarnya.
Kepala Desa Ayawan Sahrudin juga merasa warganya dikorbankan. Selama ini mereka tidak mengetahui kebun dan lahan warganya masuk dalam kawasan hutan produksi. Namun, dengan diseretnya Abdul Fatah, membuat warga desa kebingungan.
Dakwaan
Sementara itu, kasus yang mendudukkan Abdul Fatah sebagai pesakitan di Pengadilan Negeri Sampit mulai disidangkan, Rabu (6/1). Petani kelapa sawit di Kabupaten Seruyan itu dijerat pidana dengan dakwaan pengrusakan hutan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kabupaten Seruyan.
Abdul Fatah didampingi penasihat hukumnya akan mengajukan eksepsi atas dakwaan jaksa tersebut di persidangan yang dipimpin Ike Liduri tersebut. Abdul Fatah sebelumnya ditangkap Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BPPHLHK) Wilayah Kalimantan Seksi Wilayah I Palangka Raya.
Kasus itu berawal ketika Abdul Fatah membeli lahan perkebunan sawit di Desa Ayawan. Pihak Balai Gakkum LHK kemudian datang dan menyita alat berat ekskavator sewaan yang digunakan untuk membersihkan lahan, Kamis (17/9). Alasannya, karena lahan tersebut masuk dalam kawasan hutan produksi.
Menurut jaksa, terdakwa membeli lahan itu pada Abdul Hadi dan membuka lahan menggunakan ekskavator dengan operator Adit Prasetyo. Dia berniat membersihkan tanaman sawit lama di lahan itu dan menggantinya dengan yang baru, serta untuk membuat jalan. Akan tetapi, ternyata lahan seluas 12,3 hektare itu dinyatakan masuk kawasan hutan.
”Terdakwa didakwa melakukan tindak pidana pembukaan kawasan perkebunan di hutan tanpa izin menteri. Terdakwa disangkakan dengan Pasal 92 Ayat 1 Huruf a atau 92 Ayat 1 Huruf b UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Kerusakan Hutan,” kata Jaksa Sindu Hotomo.
Menurut jaksa, kualifikasi pengrusakan hutan tidak hanya merusak kondisi hutan. Namun, juga termasuk melakukan kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin. Hal itulah yang membuat Abdul Fatah dijerat hukum.
Abdul Fatah sendiri menolak dituduh merusak hutan. ”Saya membeli juga. Ada SKT-nya. Kemudian ada lahan sawitnya. Jadi saya tidak membeli hutan. Saya membeli lahan saudara di kampung yang sudah ada sawitnya. Saya bongkar, saya ganti sawit yang lama,” katanya usai sidang.
Menurutnya, lahan itu masuk dalam kawasan program Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dan saat ini pengajuannya telah berproses. ”Yang pasti saya tidak merusak hutan. Tidak melanggar peraturan dan tanah yang saya beli juga ada surat legalitasnya, yakni SKT dari desa juga sudah membayar pajak. Jadi, saya minta untuk dibebaskan,” katanya. (ang/ign)