SAMPIT – Sejumlah pejabat Dinas Pekerjaan Umum Kotim, mulai dari kepala dinas hingga kepala bidang, dilanda keresahan. Musababnya, mereka merasa terkurung radar penegak hukum; Kejaksaan Negeri Kotim. Merasa tak nyaman menjalankan tugas, para petugas itu bahkan mengancam mundur dari jabatan mereka secara berjamaah.
Para pejabat itu mengaku tak bisa bekerja maksimal lantaran sikap penegak hukum yang terkesan selalu mengawasi gerak-gerik mereka. Hal yang tampak wajar, jika mengingat Dinas PU merupakan instansi teknis yang menggunakan anggaran paling jumbo.
Kadis PU Kotim Machmoer membenarkan bahwa selama ini mereka mulai tidak nyaman bekerja. Mereka merasa apa yang dilakukan selalu diawasi. Parahnya lagi, kata Machmoer, Kejari Kotim selalu menanggapi informasi yang beredar, termasuk yang melalui surat kaleng.
”Kami bekerja sudah tidak nyaman lagi. Contohnya, ada surat kaleng kok ditanggapi. Padahal kebenarannya belum dipastikan,” cetus Machmoer di kantor DPRD Kotim usai pembahasan rancangan awal RPJMD Kotim, Kamis (4/8) kemarin.
Belakangan ini Dinas PU Kotim memang jadi perbincangan. Sejumlah proyek yang dilaksanakan kerap jadi sorotan. Seperti Kejari Kotim yang sempat menelusuri proyek di Jalan Wangga Metropolitan yang sempat terindikasi merugikan negara. Juga pembangunan jembatan menuju Lunting Tada yang juga diduga ada pelanggaran hukum.
---------- SPLIT TEXT ----------
”Kita fair saja, dipanggil, disurati ada indikasi korupsi, itu secara manusiawi tidak tenang. Selaku manusia pasti ada ketakutan,” tegas Machmoer. ”Disamping itu beban kami cukup banyak juga, kami hidup ini apa adanya saja, harta tidak dibawa mati, jangan lah kita menganggap diri kita benar,” lanjutnya.
Kabarnya, rencana mundur berjamaah pejabat-pejabat Dinas PU Kotim ini sudah sampai ke meja Sekda Kotim Putu Sudarsana. Pemkab pun dikabarkan masih mengupayakan rekonsiliasi atas dugaan kasus yang tengan menjadi bidikan di Dinas PU Kotim.
Di sisi lain, muncul persepsi bahwa apa yang dilakukan pejabat-pejabat Dinas PU Kotim itu sekadar gertak sambal. Namun, apa yang mereka lakukan sangat beralasan, jika mengacu pada instruksi Presiden Joko Widodo. Seperti kebijakan diskresi atau keputusan yang diambil para pejabat pemerintah, Jokowi melarang penegak hukum memperkarakan secara pidana kebijakan tersebut.
Kemudian,segala tindakan administrasi pemerintah juga tidak boleh dipidanakan. Termasuk juga mengenai temuan kerugian negara yang dinyatakan dalam hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Lembaga pemerintah yang terlibat harus diberikan waktu selama 60 hari untuk menjawab dan mengklarifikasi hasil temuan tersebut.
Jokowi juga memperingatkan bahwa setiap data mengenai kerugian negara harus konkret dan tidak boleh mengada-ada. Instruksi terakhir, mengenai larangan untuk menyebarluaskan tuduhan yang belum terbukti dan belum masuk proses hukum. Para penegak hukum tidak boleh mengekspos segala kasus yang sedang ditanganinya kepada media massa, sebelum ada penuntutan. (ang/dwi)