SAMPIT – Angka pernikahan di dua kecamatan di Kotim; Ketapang dan Baamang, menurun. Hal ini menunjukan tanda-tanda positif. Sebab, anak muda tak lagi berpikir untuk segera berumah tangga. Tetapi mengedepankan karier. Sayangnya, meski angka pernikahan turun, jumlah perceraian tetap tinggi.
Menurut data Kantor Urusan Agama (KUA) Ketapang dan Baamang, hingga Juli lalu, baru tercatat 583 pernikahan. Rinciannya, di KUA Ketapang 297 pernikahan, dan di Baamang 286.
”Tingkat pertumbuhan pernikahan tahun ini menurun. Dulu tahun 2014-2015 itu bisa tercatat sampai 500 sampai 600-an pernikahan, tapi rata-rata tahun ini tidak sampai,” kata Kepala KUA Ketapang, Bachrodin saat ditemui di kantornya akhir Agustus lalu.
Menurunnya angka pernikahan ini, kata Bachrodin, karena tingkat edukasi masyarakat yang sudah semakin tinggi. Selain itu, anak muda saat ini memiliki pergeseran orientasi. Mereka tidak lagi berpikir untuk segera berumah tangga, tetapi lebih memilih untuk mengejar karier.
Bagi lulusan SMP ke bawah, lanjutnya, biasanya tidak berpikir matang atau hanya mengikuti apa kata orangtua. Itu sebabnya mereka memilih segera menikah tanpa memikirkan risiko ke depannya.
”Kalau orang sudah berpendidikan itu pasti pikir-pikir untuk cari kerjaan dulu. Sebab mereka sadar nanti setelah menikah, ada istri dan anak yang harus dinafkahi. Sementara untuk yang kawin muda itu, mereka biasanya tidak memikirkan risikonya bagaimana. Makanya setelah beberapa tahun, rumah tangganya berantakan,” paparnya.
Menikah, kata Bachrodin, seharusnya dilakukan setelah kedua belah pihak memiliki umur dan pemikiran yang matang. Apalagi batasan umur berumah tangga dibatasi sesuai undang-undang, yaitu 19 tahun untuk laki-laki dan 17 tahun bagi wanita.
Rumah tangga yang dibentuk dari perkawinan dini, cenderung sangat rentan. Buktinya saat ini, lanjutnya, tingkat perceraian di Kotim sangat tinggi. Bahkan rata-rata yang menggugat cerai adalah pihak istri.
---------- SPLIT TEXT ----------
”Hal tersebut tidak hanya terjadi di desa, tapi juga di daerah kota. Karena mereka yang menikah dini kebanyakan karena kecolongan. Akibatnya banyak perceraian yang terjadi. Malah kebanyakan itu juga istri yang menggugat cerai. Penyebabnya karena tuntutan ekonomi,” imbuhnya.
Dirinya meyakini, jika mereka yang menikah di usia dewasa dan dengan pikiran yang matang, maka rumah tangga akan terpelihara. ”Kalau anak umur 16-17 kan labil pikirannya. Sesaat saja bahagianya, tapi tanggung jawabnya tidak mengerti dan masih dalam masa hura-hura,” cetusnya.
Sementara itu ditemui secara terpisah, Kabid Administrasi Kelengkapan Data KUA Kecamatan Ketapang, Maspah, menyebutkan hal yang sama mengenai penurunan jumlah pernikahan. Bahkan di Agustus lalu, hanya tercatat sekitar 19 pernikahan yang didaftarkan di kantor mereka.
Tingkat pendidikan yang semakin tinggi juga menjadi alasan kenapa jumlah pernikahan menurun. Baik wanita maupun pria cenderung lebih memilih mengejar karier, sehingga menikah mudah tidak selalu jadi prioritas.
Selain itu, dijelaskan Maspah, terkadang masyarakat memiliki perhitungan tanggal dan bulan yang cocok melangsungkan pernikahan. Sehingga bulan-bulan tertentu banyak mencatatkan pernikahan, sementara bulan-bulan lainnya jarang.
”Bulan-bulan yang biasanya paling sering dipilih untuk melaksanakan pernikahan biasanya adalah saat Maulid Nabi Muhammad SAW, bulan haji, dan bulan Muharram. Misalnya tanggal 16 September nanti, itu kan masih dalam minggu-minggu Idul Adha. Sudah banyak yang mau mencatatkan pernikahan di tanggal itu,” pungkasnya. (sei/dwi)