SAMPIT – Sengketa lahan antara perkebunan dengan warga berujung petaka. Dua warga Desa Tangar, Kecamatan Kotabesi, tumbang tertembak senjata, Senin (18/12). Peluru menembus kaki dua warga tersebut.
Peristiwa itu terjadi di lahan perkebunan PT Bumi Sawit Kencana (BSK), anak perusahaan Wilmar Group. Korban penembakan adalah Agus (55) dan Abu Saman (60). Peluru yang melukai mereka disebut-sebut berasal dari moncong senjata aparat yang ditugaskan mengamankan perusahaan tersebut.
”Keduanya tertembak saat mengklaim lahan perkebunan tersebut sekitar 52 hektare. Agus kena tembakan di kaki, sementara Abu Saman di paha,” kata salah seorang warga yang ikut mengklaim lahan bersama dua korban yang tertembak. Dia meminta namanya tak disebutkan.
Menurutnya, sudah sepuluh hari mereka mempertahankan lahan yang dikuasai PT BSK tersebut. Saat kejadian, datang sekuriti dan petugas kepolisian. Saat itulah terjadi keributan hingga berujung penembakan.
Aksi klaim lahan itu, lanjutnya, disertai pemortalan. Mereka menuntut kejelasan ganti rugi lahan. ”Kami saat itu ingin bertemu dengan manajernya,” katanya.
Pihaknya bersikeras menyatakan lahan itu bukan milik perusahaan. Mereka ingin ditunjukkan legalitasnya. Namun, jelasnya, perusahaan tidak mau. Bahkan, saat diajak dan dikirim surat untuk pertemuan, perusahaan selalu menolak.
Manajer Binamitra Wilmar Grup Andi Ayub mengatakan, lahan yang diklaim warga itu sebenarnya sudah dibebaskan. ”Berdasarkan data, lahan yang diklaim sudah dibebaskan ke saudaranya sendiri, bernama Zainal dan Kastalani,” ujarnya.
Menurut Andi, pembebasan lahan itu dilakukan pada 2008 silam. Namun, belakangan justru diklaim Faturahim, saudara Kastalani dan Zainal.
Mengenai insiden penembakan, Andi membenarkan ada dua warga yang tumbang tertembak. Namun, dia enggan menjelaskan kronologisnya karena bukan ranahnya. ”Untuk kronologisnya, silakan koordinasi dengan kepolisian, ya,” kata Ayub.
Sementara itu, salah seorang aparat petugas pengamanan mengatakan, petugas tak menggunakan peluru tajam, hanya peluru karet. ”Kalau peluru tajam kena kaki atau badan itu, pasti hancur,” ujarnya.
Menurutnya, kejadian itu bermula saat sekuriti perusahaan menghalangi aksi panen massal oleh warga. Di lokasi, sekuriti dan masyarakat adu mulut. Petugas yang tiba di lokasi, sempat melakukan komunikasi dan negosiasi. Namun, warga melawan.
Petugas kemudian memberikan tembakan peringatan menggunakan peluru hampa. Kemudian peluru karet. ”Jadi, tidak ada peluru tajam itu," tegasnya.
Dia menjelaskan, selongsong peluru tajam dan karet sama. Hanya saja, ujung pelurunya berbeda. Untuk peluru tajam, ujungnya lancip, sementara peluru karet tumpul. ”Jadi, apa yang dilakukan di lapangan itu sudah sesuai prosedur,” tegasnya.
Kapolsek Kotabesi Iptu Afif melalui telepon mengatakan, kejadian itu berawal ketika sejumlah sekuriti perusahaan, aparat, dan petugas pengamanan lainnya, mendatangi lokasi pemortalan oleh tujuh warga setempat.
Mereka berniat melakukan pemanenan buah sawit. Warga mengklaim lahan itu sejak 2012 lalu. Petugas kemudian mengajak mediasi, namun warga menolak. Negosiasi berubah menegangkan ketika beberapa warga dan sekuriti perusahaan terlibat adu mulut.
Seorang warga yang tersulut emosi, mengeluarkan samurai dan mengayunkan ke arah aparat. Karena situasi tidak menguntungkan, semua petugas pengamanan mundur.
”Informasi sementara yang saya peroleh, setelah mundur, warga justru menyabetkan samurai ke arah petugas dan mengenai seorang sekuriti perusahaan hingga bajunya robek. Sampai saat ini, kami (polisi) belum mengetahui kondisi sekuriti tersebut karena masih dalam tahap penyelidikan,” ujarnya, tadi malam.
Di tengah kericuhan itu, suara tembakan terdengar beberapa kali hingga menyebabkan dua pemortal roboh. Belum diketahui siapa yang memuntahkan peluru kepada dua warga tersebut. Afif mengatakan, pihaknya masih melakukan koordinasi dengan Satuan Reskrim Polres Kotim untuk menyelidiki kasus tersebut.
Salah seorang keluarga korban, Asbed (55), mengatakan, letupan senjata itu diduga berasal dari senjata petugas pengamanan. Dua korban tadi malam sudah dirawat di RSUD dr Murjani Sampit. (ron/rm-85/ang/ign)