PALANGKA RAYA – Konflik lahan di Kota Palangka Raya seolah tak ada habisnya. Kali ini giliran Majelis PW Muhammadiyah Kalimantan Tengah yang ikut merasakan persoalan yang disinyalir disebabkan mafia tanah tersebut. Tanah wakaf milik organisasi keagamaan itu diduga diserobot orang lain.
Lahan sengketa di Jalan Tabat Kalsa, jalur Trans Kalimantan di Jalan Mahir Mahar Km 14 Kota Palangka Raya tersebut seluas 30 hektare. Sedianya di lokasi tanah wakaf itu akan dibangun masjid.
Informasi dihimpun Radar Sampit, di atas lahan bersengketa itu ada beberapa dokumen berupa surat keterangan tanah (SKT) yang dikeluarkan Pemerintah Kota Palangka Raya melalui kelurahan. Muhammadiyah keberatan dengan keberadaan SKT tersebut.
Sebab, Persyarikatan Muhammadiyah telah mendaftarkan tanah wakaf ke Kantor Badan Pertanahan (BPN) Kota Palangka Raya melalui program inventarisasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah (IP4T) tahun 2015. Selain itu, Koordinator Bidang Wakaf dan Kehartabendaan Muhammadiyah telah mengajukan surat ke BPN pada 13 Juni 2019 dan 15 Juli 2019.
”Kami menduga persoalan itu karena adanya mafia tanah. Muhammadiyah mendukung pemberantasan mafia tanah. Di atas lahan 30 tersebut sudah ada bangunan pondok pekerja dan jembatan,” kata Koordinator Bidang Wakaf dan Kehartabendaan PW Muhammadiyah Kalteng, Abu Bakar, Senin (15/3).
Abu Bakar menuturkan, plang pembangunan masjid di lokasi tersebut dirusak seseorang. Pihaknya telah mengajukan klarifikasi dan meminta penjelasan dari BPN Palangka Raya.
Dia mengatakan, tanah itu awalnya diperoleh pada 2004. Saat itu PW Muhammadiyah Kalteng mendapat hibah tanah seluas 50 hektare di lokasi tersebut. Hobah itu dari Rinco Norkim, Imberansyah Aman Ali, Darwis A Rasyid, dan Hamdani Amberi Lihi.
Berdasarkan hal itu, dilakukan proses dokumentasi dan kepemilikan yang diperkuat dengan surat hibah, akta wakaf dari Kantor Urusan Agama Kecamatan Sabangau, dan Surat Penegasan Keterangan Tanah dari Kelurahan Sabaru.
Selanjutnya, pada 2012, ada sekelompok masyarakat sebanyak 31 orang mengklaim lahan itu. Menanggapi hal tersebut, pada 21 September 2015, digelar musyawarah dan menyepakati pembagian lahan dengan komposisi, 30 hektare untuk Persyarikatan Muhammadiyah dan 20 hektare untuk kelompok masyarakat yang mengklaim.
Setelah kesepakatan, lanjut Abu Bakar, ternyata ada lagi yang mengklaim tanah di areal yang harusnya sudah menjadi hak PW Muhammadiyah. Pihaknya berupaya mempertahankan tanah itu dengan memasang plang papan nama, parit batas, badan jalan, pembuatan jembatan, dan pondok. Selain itu melapor ke polisi.
Akan tetapi, ujar Abu Bakar, bersamaan dengan itu, pihaknya malah menerima data dan informasi bahwa Kantor Pertanahan Kota Palangka Raya telah menerbitkan peta bidang di atas wakaf kepada pihak lain. Salah satu di antaranya peta bidang atas nama Supri pada 23 Juli 2019. Padahal, pihaknya telah mendaftar tanah itu ke BPN dalam program IP4T tahun 2015.
Selanjutnya, PW Muhammadiyah mengundang sejumlah untuk penyelesaian sengketa tanah wakaf tersebut. Akan tetapi, justru terbit peta bidang atas nama Supri pada 23 Juli 2019. Sampai sekarang persoalan tersebut belum ada titik terang.
Abu Bakar menambahkan, sengketa yang belum selesai itu diperparah dengan adanya klaim pihak lain yang telah mengapling lahan tersebut dan dijual lagi pada orang lain. Padahal, pihaknya merupakan pemilik sah tanah wakaf seluas 30 hektare tersebut.
”Kami temukan berbagai kejanggalan. Karena itu, semoga hal ini menjadi perhatian. Kami hanya meminta para pihak untuk menaati hasil kesepakatan yang telah dibuat,” tegasnya.
Dikonfirmasi terkait persoalan tersebut, Lurah Kalampangan Bagus Budi Novianto mengatakan, pihaknya masih menunggu perkembangan mediasi. Sebab, sengketa itu terjadi ketika dirinya belum menjabat lurah di wilayah itu.
“Saya belum bisa memberikan keterangan secara detail. Untuk mediasi dikembalikan kepada kedua belah pihak untuk mencari kesepakatan secara kekeluargaan. Nanti kalau sudah sepakat ditindaklanjuti,” tandasnya. (daq/ign)