PALANGKA RAYA – Kantor Wilayah Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Kota Palangka Raya membantah tudingan masyarakat terkait dugaan permainan mafia tanah dalam konflik lahan di wilayah itu. Instansi itu menegaskan, telah sesuai prosedur dalam penerbitan sertifikat.
”Penerbitan sertifikat sudah melalui berbagai proses, berupa pengukuran, pemeriksaan tanah, sampai menerbitkan SK pembelian tanah hingga akhirnya terbit sertifikat. Kami memproses sesuai dokumen yang diserahkan,” tegas Kepala Kantor Wilayah ATR/BPN Kota Palangka Raya Budhy Sutrisno, Senin (1/3).
Budhy merespons aksi protes puluhan pemilik tanah di kawasan Jalan Hiu Putih, Jalan Badak, dan Banteng, Minggu (28/2) lalu, terkait lahan mereka yang diklaim pihak lain. Warga menduga ada kongkalikong antara mafia tanah dengan oknum BPN, sehingga bisa terbit sertifikat di atas kepemilikan tanah tanpa sepengetahuan warga.
Menurut Budhy, meski telah memproses sesuai prosedur, apabila dalam dokumen pengajuan sertifikat yang diajukan warga ada dugaan palsu, hal tersebut bukan wewenang pihaknya. Dia juga menegaskan, penerbitan sertifikat tak mungkin salah lokasi karena sudah melalui berbagai tahapan. Di sisi lain, sertifikat tak bisa diterbitkan di kawasan hutan, kecuali melalui pelepasan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
”Jadi, tidak mungkin BPN mengukur di Jalan Arwana, tetapi terbitnya di jalan lain. Tidak mungkin itu. Tetapi, yang pasti kawasan hutan memang tak boleh ada sertifikat,” tegasnya.
Mengenai penerbitan sebanyak 150 sertifikat di Jalan Hiu Putih dan Banteng, Budhy menuturkan, sertifikat diterbitkan sesuai prosedur, termasuk melibatkan lurah dan lainnya. ”Jadi, semua sudah sesuai,” tegasnya.
Lebih lanjut Budhy mengatakan, adanya penerbitan sertifikat di lahan yang diklaim orang lain, merupakan salah satu permasalahan tanah. Pihaknya tak mengetahui karena hanya lembaga administrasi.
Budhy juga membantah tudingan adanya oknum BPN yang ikut bermain dalam masalah tanah. ”Jika disebutkan oknum, siapa oknumnya? Saya membantah kalau dianggap ada oknum mafia tanah di BPN,” ujarnya.
Budhy menjelaskan, terkait kawasan hutan, tidak identik dengan hutan, seperti di Jalan RTA Milono. Kawasan itu dikategorikan hutan, namun sudah banyak permukiman, sehingga bisa terbit sertifikat, karena kemungkinan besar statusnya sudah bukan nonhutan. ”Maka itu, memang harus dicek lebih detail,” tegasnya.
Mengenai legalitas kepemilikan warga yang hanya berupa surat-menyurat, menurut Budhy, bukan berarti tidak berlaku, tetapi harus diperbaharui dan dikonversi menjadi hak menurut hukum pertanahan Indonesia.
”Semua harus diperbaharui dan itu nanti ada rekomendasinya sesuai produk hukum tanah di Indonesia. Makanya, ketika punya penguasaan tanah, harus memiliki iktikad baik. Artinya, mengetahui keadaan tanah tersebut. Punya surat tapi tidak dipelihara, itu percuma. Lahan itu harus dipelihara,” ujarnya.
Sebelumnya, Madi Guning Sius, koordinator sekaligus pemilik tanah dalam aksi protes Minggu (28/2) lalu, mengaku tak habis pikir dengan permainan mafia tanah di Palangka Raya. Sertifikat yang diterbitkan oknum BPN Kota Palangka Raya jumlahnya cukup banyak dan berada di atas tanah warga Jalan Hiu Putih dan Banteng.
”Gimana tidak resah. Oknum yang mengaku tanahnya itu, kalau sesuai dengan suratnya, berada di Jalan Arwana. Tetapi, sertifikatnya terbit di atas tanah warga Jalan Hiu Putih. Kami, masyarakat resah dengan perbuatan oknum yang tidak bertanggung jawab, yang selalu menunjukkan sertifikat hak milik, padahal lokasinya berbeda,” ujarnya. (daq/ign)