SAMPIT – Kehidupan petani karet dan rotan yang tidak pernah diperhatikan bisa berdampak buruk. Komoditas yang jadi andalan petani tradisional Kalteng itu terancam punah. Dalam kurun waktu empat tahun terakhir, harga komoditi itu, terutama karet, kian terpuruk.
”Sejak beberapa tahun lalu, harga karet tidak ada perkembangan. Katanya harga rendah itu karena cara petani menyadap yang salah, tetapi sampai saat ini kami tidak pernah diberikan contoh agar panen dan kualitas yang baik untuk mendapatkan harga tinggi itu,” ujar Sawrino, warga Desa Luwuk Bunter, Kecamatan Cempaga.
Pemkab dan provinsi seolah tak berdaya dengan harga karet yang terus terjun bebas. Kini harga karet tingkat petani hanya berkisar di angka Rp 5.000 per kilogram, sedangkan rotan Rp 2.000 per kilogramnya.
Anggi, warga Cempaga lainnya menambahkan, warga tidak segan menebang pohon karet dan menggantinya dengan kelapa sawit. Sebab, harga tidak ideal dengan biaya hidup saat ini. ”Banyak yang sudah mengganti ke sawit. Ini karena masalah harga tadi,” ujar pria yang kesehariannya berkutat dengan pekerjaan karet tersebut.
Di sisi lain, harga rotan cenderung fluktuatif. Kadang harganya menjanjikan, hingga menembus angka Rp 3.000 per kilogram. Namun, dalam beberapa bulan belakangan, komoditi itu anjlok kembali, menyentuh harga terendah.
---------- SPLIT TEXT ----------
”Kami berharap agar gubernur baru ini bisa melihat kondisi riil di lapangan untuk petani karet dan rotan, jangan hanya terima laporan dari pejabat, karena kadang laporan tidak sesuai dengan kondisi dan apa yang dirasakan di tingkat petani,” ujar Anggi.
Jika dibandingkan kenaikan harga kebutuhan pokok, lanjutnya, kondisi tersebut sangat tidak seimbang. ”Sekarang harga kebutuhan pokok itu naik semua, sedangkan komoditas itu tidak pernah naik. Kami berharap agar asosiasi petani karet dan rotan menyurati Presiden langsung untuk minta tanggung jawab, kemungkinan presiden tidak tahu kondisi rakyat di Kalteng ini menjerit,” tukasnya. (ang/ign)