PANGKALAN BUN – Setiap pasangan yang baru menikah tentu saja memiliki impian ideal tentang bagaimana mereka akan membangun kehidupan baru mereka berdua, di tempat baru. Namun apa yang menjadi harapan belum tentu akan menjadi kenyataan. Apalagi bila pasangan suami istri yang baru menikah masih tinggal di rumah mertua.
Itulah yang menjadi dasar Dwi Aprilia (27) membulatkan tekat untuk mengambil perumahan bersubsidi pemerintah yang masif dipromosikan oleh pengembang perumahan di Kabupaten Kotawaringin Barat.
Pertengahan tahun 2014 lalu, anak kedua dari empat bersaudara ini datang ke kantor pengembang perumahan di kawasan jalan Jenderal Ahmad Yani Kilometer 8 Pangkalan Bun Kabupaten Kobar.
”Ingin investasi dan tidak ingin merepotkan orang tua dan juga mertua saat menikah nanti,” ucapnya mantab saat dibincangi Radar Pangkalan Bun di sela-sela jam istirahat siangnya, Kamis (9/3) kemarin.
Sebagai pekerja perusahaan swasta dengan gaji di bawah empat juta rupiah perbulan, perumahan subsidi tipe 36 menjadi pilihan utama waktu itu, ditambah lagi dengan ukuran tanah 10 x 15 meter sudah dianggapnya cukup untuk tempatnya membina rumah tangga di masa depan.
”Waktu itu pengajuan sangat mudah dan dari pengembang juga cukup komunikatif dalam memberikan informasi terkait proses Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) di bank BTN,” katanya.
Waktu itu, ia hanya diminta menyerahkan fotocopy KTP dan slip gaji dan saat itu pula ia langsung diajak keliling untuk melihat beberapa rumah contoh dari puluhan rumah yang telah dibangun dan mulai berpenghuni milik pengembang Griya Bumi Permai itu.
”Kemudian segala urusan dilakukan oleh pihak pengembang dan bank BTN. Saya tinggal menunggu sesi wawancara saja untuk kepastian pengajuan kredit rumah,”ungkapnya.
Dengan angsuran perbulan sebesar Rp 860.000 dengan jangka waktu 15 tahun, tak terasa sudah lebih dua tahun tanpa sekalipun ia telat membayar atau bahkan merasa berat karena harus menyisihkan gaji untuk meraih rumah impiannya.
”Sekarang kalau ngontrak di Pangkalan Bun minimal Rp 700- Rp 800 ribu perbulan, itu uangnya hilang begitu saja. Namun bila ambil rumah BTN dengan uang yang hampir sama, kita bisa miliki rumah sendiri,”katanya.
Akhirnya, November 2016 lalu wanita berhijab ini menikah dan keinginannya untuk langsung tinggal berdua dan membangun rumah tangga dengan suami tercinta secara mandiri terwujud.
”Memang tidak semua mertua itu jahat, namun sebagai pasangan muda kita ingin bisa segera mandiri diatas kaki sendiri,”harapnya.
Memiliki rumah sendiri untuk ditinggali dengan keluarga kecil bahagia juga menjadi impian Rinduwan, pemuda kelahiran 25 tahun silam itu.
Rumah subsidi yang dipilihnya tidak harus dianggap sebagai rumah murahan dengan segala keterbatasan fasilitas. Menurutnya rumah subsidi menjadi bagian untuk menggerakkan ekonomi masyarakat. Karena program dengan adanya program tersebut, masyarakat berpenghasilan rendah mampu memiliki rumah layak.
”Angsuran saya murah sekali, cukup Rp 815.000 perbulan, sangat membantu untuk menjaga kemampuan ekonomi masyarakat yang berpenghasilan rendah seperti saya,”katanya.
Memutuskan untuk segera memiliki rumah setelah sekitar lima tahun bekerja, menjadi pilihan terbaik dalam hidupnya. Kemudahan pengajuan KPR ke Bank BTN membuatnya terasa tenang menatap masa depan.
”Bekerja di usia muda dan mampu mencukupi kebutuhan sudah saya dapat, kini saatnya memikirkan masa depan. Kalau tidak sekarang, beberapa tahun kedepan harga rumah akan makin mahal sedangkan umur sudah tidak muda lagi,” katanya.
Hal itu cukup beralasan, selain umur yang sudah mulai bertambah. Kesempatan memiliki rumah bersubsidi yang didukung dengan kemudahan akses oleh BTN belum tentu akan terulang dikemudian hari.
”Kita tidak tahu ke depan seperti apa, dan kondisi kita juga akan semakin baik atau bahkan memburuk. Mumpung ada kesempatan membeli rumah bersubsidi, saya ambil saja. Selain ditempati sendiri ini bisa menjadi investasi dimasa depan,” katanya.
Keberadaan rumah bersubsidi diakuinya menjadi salah satu program pemerintah yang sangat dibutuhkan. Mudahnya memiliki rumah dan juga ringannya biaya perbulan diyakini akan banyak menolong masyarakat kelas bawah.
Sebelum ada rumah bersubsidi, harga rumah di Kabupaten Kotawaringin Barat dari tahun ke tahun makin tinggi dan kian tak terjangkau bagi masyarakat berkantong cekak seperti dirinnya.
”Bayangkan, rumah tipe 70 dijual hingga Rp 425 juta, dengan minimal uang muka Rp 85 juta, kalau diangsur selama 10 tahun Rp 5 juta lebih atau kalau ambil 15 tahun masih kena Rp 4 lebih. Lantas kapan kita bisa punya rumah dengan gaji Rp 3 juta perbulan seperti sekarang,”katanya.
Dari dua kisah di atas, dengan berbagai alasan akan masih sangat banyak warga Kabupaten Kobar yang begitu membutuhkan keberadaan rumah bersubsidi, apalagi didukung penuh dengan perbankan sekelas Bank BTN yang telah malang melintang dalam mengurus perumahan rakyat.
Data yang diperoleh koran ini dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Kotawaringin Barat terungkap bahwa di tahun 2015 lalu, sebanyak 10,30 persen rumah tangga di Kabupaten ini tinggal di rumah kontrakan atau rumah sewa. Kemudian yang masih tinggal di rumah Dinas atau fasilitas perusahaan sebanyak 15,24 persen. Dari data itu pula terungkap bahwa jumlah rumah tangga di Kabupaten Kobar di tahun 2015 mencapai 72.886.
”Jumlah total itu dihitung rumah tangga, bukan dihitung kepala keluarga. Dalam artian kita menghitungnya dengan satuan rumah yang sangat mungkin bisa didiami oleh dua atau tiga kepala keluarga (KK),” kata, Oo Suharto, Kepala Badan Pusat Statistik Kobar.
Dengan kondisi itu, sangat tampak terlihat kebutuhan perumahan masyarakat Kobar yang masih sangat tinggi. Untuk data 2016 pihaknya belum bisa merilis karena masih dalam proses penghitungan.
Menurutnya, selain angka 10,30 persen keluarga yang masih tinggal di rumah kontrakan atau sewa, masih sangat terbuka untuk pertumbuhan permintaan perumahan untuk keluarga yang tinggal di rumah dinas baik yang difasilitasi pemerintah atau perusahaan swasta seperti di perkebunan kelapa sawit ataupun perusahaan swasta yang bergerak di bidang lainnya.
”Yang masih tinggal di rumah dinas itu suatu saat akan butuh rumah sendiri, dan akan meningkatkan persentase kebutuhan perumahan,” katanya.
Sementara itu Ketua Real Estate Indonesia (REI) Kotawaringin Barat, Sueko, menilai tahun 2017 menjadi peluang besar bagi sektor properti. Potensi tersebut dapat dilihat dari angka backlog dan kebutuhan rumah yang masih tinggi, serta minat investasi di sektor properti yang masih besar dan cukup menjanjikan.
Ditambah lagi, katanya, pemerintah saat ini terus memberikan dukungan penuh atas peluang kepemilikan rumah bagi masyarakat Indonesia terutama yang tergolong berpenghasilan rendah dengan mengalokasikan anggaran Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), Susbsidi Selisih Bunga (SSB), dan bantuan uang muka pada 2017 yang lebih besar dibandingkan dengan di 2016.
”Dan yang saya baca diberbagai pemberitaan ternyata Bank Indonesia juga mempermudah masyarakat untuk dapat mengakses KPR dengan melonggarkan aturan Loan to Value (LTV) di tahun 2016 lalu. Ini merupakan amunisi yang cukup baik untuk memberikan dampak positif bagi pertumbuhan bisnis properti di masa mendatang,” katanya.
Selain itu, yang menjadi pelecut utama di lapangan adalah munculnya berbagai kemudahan dan transformasi pelayanan diluncurkan BTN. Dengan berbagai jalan mulus itu Sueko meyakini masyarakat yang selama ini mengidam-idamkan rumah tidak hanya akan bermimpi, namun mereka akan bangun dan memiliki rumah secara nyata.
”Program sejuta rumah yang oleh pemerintah diberikan karpet merah dan didukung penuh oleh BTN akan makin memberikan manfaat kepada masyarakat. Masyarakat tidak akan bermimpi memliki rumah, tapi dapat bermimpi indah didalam rumah masing-masing,” katanya.
Pemiliki tiga proyek besar pengembangan rumah murah di Kobar dan Sukamara ini juga mengatakan, dengan program sejuta rumah maka dorongan untuk peningkatan jumlah lapangan kerja juga akan bertambah.
”Dalam satu unit rumah bersubsidi dibutuhkan enam pekerja, dan untuk pengembang skala kecil saja butuh minimla 30 pekerja, jadi peluang membuka lapangan pekerjaan juga akan bertambah,” terangnya.
Tidak hanya sektor lapangan kerja saja, kebutuhan pasokan akan bahan bangunan dan kelengkapannya juga akan mendorong indutri bahan pembangunan rumah beserta isinya.
Sebagai contoh kebutuhan batu bata atau batako akan meningkat, usaha moulding mebel untuk kusen perumahan juga akan melesat, kemudian industri atap, semen dan segala keperluan rumah seperti mebeler dan segala macamnya juga akan ikut terkerek.
”Dalam satu rumah itu terdapat puluhan jenis kebutuhan, bila sektor perumahan mengalami pertumbuhan, maka yang akan merasakan kenikmatannya adalah sektor riil. Pasalnya, pembangunan perumahan yang berkelanjutan memberikan efek berganda atau multiplier effect,” pungkasnya. (sla)