PALANGKA RAYA – Umat Hindu di Kota Palangka Raya menggelar rangkaian Hari Raya Nyepi 1940 di Bundaran Besar Palangka Raya. Puncak kegiatan itu akan digelar di Pura Jalan Kini Balu Palangka Raya. Hari Raya Nyepi tahun ini merupakan momentum untuk introspeksi dan mawas diri.
Dalam kepercayaan umat Hindu, jelang Nyepi ada momen Tawur Kesanga yang dilaksanakan di Bundaran Besar. Kegiatan itu berarti memberikan hadiah kepada mahluk lain yang tidak kasat mata, berupa sesajen berisi ayam panggang, bunga, kembang, air, dan telur ayam. Selain itu, sebagai simbol menutupi lubang persoalan maupun masalah sampai Hari Raya Nyepi tiba.
Ada empat kegiatan yang dilakukan, pertama melasti. Proses spritual keagamaan sebagai upaya penyucian alam semesta dari segala kotoran dan kejahatan akibat dari perputaran karma selama setahun, yang penuh intrik, gejolak, nafsu, dan berbagai sisi negatif manusia.
Kedua, Tawur Kesanga. Prinsip pada tahapan ini, yakni penyelarasan dari lima unsur alam dan diri manusia. Dengan adanya penyelarasan itu, manusia akan dibantu dengan suasana kondusif untuk melakukan renungan. Tahapan ini dilaksanakan sehari sebelum Nyepi, tepatnya pada bulan mati/tilem sasih kesanga pada 16 Maret.
Ketiga, Nyepi. Menyepi diibaratkan kepompong yang mengisolasi diri. Tahapan ini merupakan kegiatan utama Nyepi, yang intinya merupakan renungan, evaluasi, kilas balik, serta introspeksi diri.
Nyepi dilaksanakan dengan melakukan empat disiplin kehidupan, yakni mengendalikan amarah (Amati Geni), menghindari kegiatan fisik (Amati Karya), menghindari bepergian (Amati Lelungaan), dan tidak menikmati hiburan (Amati Lelanguan).
Terakhir, Ngembak Geni, yakni berkomunikasi dengan masyarakat sekitar. Memohon maaf (Simakrama) yang dilandasi rada tulus ikhlas. Tahapan ini dilakukan sehari setelah Nyepi, yakni 18 Maret.
”Kami berharap ke depan dapat menjalani hubungan yang harmonis, baik dengan pencipta (Tuhan) maupun dengan alam lingkungan, serta hubungan harmonis antarsesama manusia," kata Ketua Panitia Pelaksana Kegiatan Oka Swastika, Jumat (16/3).
Oka menuturkan, secara umum, nyepi bertujuan mengetahui latar kehidupan umat Hindu di tahun sebelumnya. Dengan demikian, umat Hindu dapat membuat target kehidupan, guna mencapai kehidupan yang lebih baik sesuai yang disuratkan dalam ajaran Sarasamuccaya.
”Di antara semua makhluk hidup, hanya kelahiran sebagai manusialah yang dapat melaksanakan perbuatan baik atau buruk. Tugas yang paling esensi adalah melebur atau mengubah perbuatan yang tidak baik menjadi baik. Inilah konsekuensi kelahiran sebagai manusia,” ujarnya.
Makna dari nyepi, lanjutnya, melaksanakan evaluasi dan introspeksi diri, guna merencanakan kehidupan di tahun mendatang ke arah yang lebih baik, positif, kondusif, dan damai serta sejahtera. Untuk evaluasi itu, umat Hindu memerlukan suasana yang hening, sepi, dan tenang.
Ketua Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan (MB-AHK) Walter S Penyang mengatakan, Hari Raya Nyepi merupakan momentum introspeksi dan mawas diri dengan melaksanakan catur brata penyepian, yakni amati geni (menahan amarah, hawa nafsu, dan tidak menyalakan api).
”Dalam tradisi Kaharingan, kami mengenal berbagai ritual dalam menghargai keberadaan para bhatakala, batarakala, dan rajakala, di antaranya ritual mayanggar dan mapas lewu. Menyanggar membuat batas-batas berbagai aspek kehidupan, sedangkan mapas lewu adalah membersihkan,” katanya. (daq/ign)