SAMPIT – Kebun sawit, kebun nanas, dan kebun karet turut menjadi korban dalam kebakaran lahan dan hutan. Petani pun kehilangan penopangan ekonomi keluarga. Mereka berusaha menyelamatkan sumber penghidupannya, namun sia-sia. Keterbatasan peralatan dan sumber air membuat mereka tak berdaya.
Sebagai contoh, lahan sawit milik beberapa petani di daerah Lampuyang, Camp Putih, Kabupaten Kotawaringin Timur, terbakar sejak 5 September hingga sekarang. Kerugian yang dialami masing-masing pemilik lahan sebesar Rp 50 juta per hektare. Padahal tanaman sawit sudah hampir panen. Biaya yang dikeluarkan petani untuk memupuk dan merawat sawit pun sia-sia.
Pemilik lahan sudah berusaha menjaga lahan mereka. Bahkan para petani harus makan dan tidur di kebun. Mereka berjaga-jaga kalau api mulai meluas kembali.
“Kami menjaga satu titik api, namun muncul kembali sepuluh titik api. Asap yang kami hirup menimbulkan sesak nafas serta keluhan lainnya, bahkan ada salah satu dari relawan kami yang pingsan,” ungkap Jali, salah satu pemilik lahan di Lampuyang, Rabu (18/9).
Jali menambahkan, bantuan pemerintah selama kebakaran berlangsung hanya satu kali yaitu pemadaman menggunakan helikopter. Sampai sekarang sudah tidak ada lagi bantuan dari pemerintah.
”Sekarang hanya kami yang berusaha memadamkan api dengan alat seadanya yang kami peroleh dari iuran bersama pemilik lahan lainnya sebesar lima sampai tujuh juta rupiah per orang untuk membeli alat penunjang pemadam kebakaran dan membayar upah buruh untuk memadamkan api,” ujarnya.
Menurutnya, sumber air untuk memadamkan api berasal dari sumur bor. Karena kondisi sedang kemarau, air di sumur bor pun tidak mencukupi untuk memadamkan api, sehingga perlu mengambil air di sungai yang jaraknya jauh.
Selain kebun sawit, lahan lahan karet dan nanas juga jadi korban. Misalnya lahan seluas empat hektare milik Ramli di Jalan Binakarya Kilometer 8 Sampit–Kota Besi. Sudah empat hari lahannya dilalap api. Kebun karet sudah menguning, sementara nanas pun menjadi nanas bakar.
”Saya sebagai pemilik lahan berusaha sendiri untuk memadamkan api dengan membuat tiga sumur bor di dekat lokasi kebakaran. Setiap malam saya berjaga-jaga di lokasi hingga pukul 00.00 WIB untuk meminimalisir terjadinya kebakaran,” katanya kemarin.
Akibat kebakaran lahan, pemasukkan untuk keluarganya pun terhenti. Nanas yang semestinya akan memasuki masa panen, justru hangus.
”Kerugian mencapai delapan juta. Nanas yang biasanya dipanen berangsur-angsur selama dua bulan, sudah habis dilahap api. Untuk lahan karet, tidak bisa digunakan lagi karena akar pohon sudah rapuh, ketika angin kencang pohon roboh,” tambahnya.
Ramli mengajak para petani lainnya untuk membuat sumber air, sehingga bisa digunakan keperluan bersama untuk mengantisipasi kebakaran lahan.
“Harapannya pemerintah atau masyarakat segera membuat sumber air di dekat lokasi kebakaran, mengingat jalan menuju lokasipun terbilang mudah untuk memasukkan alat-alat berat. Agar masyarakat terutama saya bisa menggunakannya saat terjadi kebakaran kembali,” pungkasnya. (dia/yit)