SAMPIT – Keputusan pemerintah akan menghapus honorer atau tenaga kontrak dinilai bisa mengancam pelayanan pemerintah. Pasalnya, sebagian besar honorer itu dipekerjakan untuk menangani tugas yang tak terakomodir aparatur sipil negara (ASN) yang juga masih sangat kurang.
Ketua Fraksi Partai Demokrat DPRD Kotim Parimus mengatakan, apabila penghapusan honorer jadi dijalankan, akan menghilangkan pekerjaan ribuan, bahkan jutaan tenaga honorer. Hal itu akan berdampak buruk pada pelayanan pemerintah.
”Saya yakin kalau kebijakan itu diterapkan secara cepat dan tidak ada langkah persiapan, ketika tenaga honorer yang ada itu dihapus, artinya mereka diberhentikan dong. Di situ akan terjadi stagnasi di bidang pelayanan pemerintah,” tutur Parimus.
Parimus mengatakan, apabila pemerintah ingin melaksanakan aturan UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN yang hanya mengenal istilah pegawai negeri sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), honorer yang ada belum tentu bisa diangkat langsung. Mereka harus melalui tes tertentu yang belum tentu lolos.
Menurutnya, penghapusan istilah honorer merupakan strategi pemerintah pusat untuk memberhentikan tenaga honorer secara halus. Setelah itu, mereka diwajibkan mengikuti tes untuk diangkat menjadi PPPK.
”Kan sama saja artinya rekrutan baru. Lain halnya kalau honorer ini otomatis diangkat langsung jadi PPPK. Kalau mereka harus ikut tes dulu, belum tentu lulus. Kalau tidak lulus, akan jadi masalah,” kata Parimus.
Parimus mendukung penghapusan tenaga honorer asalkan mereka diprioritaskan masuk PPPK. ”Kalau memang mereka diakomodir ke PPPK tidak masalah. Tapi, kalau disuruh ikut tes lagi, saya kira itu kebijakan pemerintah yang tidak cermat,” tegasnya
Lebih lanjut Parimus mengatakan, di Kotim ada ribuan honorer, baik di bidang pendidikan, kesehatan hingga staf di perkantoran. Tenaga honorer itu diandalkan untuk mencukupi kebutuhan aparatur di bidang pemerintahan.
”Saya kira kebijakan untuk menghapus tenaga honorer ini terburu-buru, karena khususnya di Kotim yang jadi perawat, guru, tukang ketik, petugas administrasi di perkantoran, itu banyak honorer. Mereka sangat dibutuhkan,” tegas Parimus.
Parimus menegaskan, kebijakan pemerintah daerah mengangkat tenaga honorer tidak salah. Hal itu bagian dari otonomi daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri.
”Jangan dibanding dengan di Jawa sana. PNS sudah merata. Kalau kita di daerah ini, 50 persen layanan publik hingga pelosok itu dilakukan oleh mereka yang berstatus honorer,” tegasnya.
Sementara itu, Sumi, honorer Pemkab Kotim mengaku risau dengan rencana penghapusan itu. ”Kalau honorer dihapus, berarti kami ini akan kehilangan pekerjaan. Jadi, saya tidak setuju dengan rencana penghapusan honorer ini. Semoga pemerintah bisa mempertimbangkannya,” kata dia.
Sumi mengaku tidak masalah menjadi tenaga honorer meski hanya digaji sekitar Rp 2 juta. ”Per bulan saya hanya terima sekitar dua jutaan saja. Tidak ada tambahan fasilitas atau insentif. Tetapi, dengan angka begitu saya tetap bersyukur, karena masih bisa membantu tambahan penghasilan untuk keluarga,” katanya.
Apabila tenaga honorer benar-benar dihapus, dia berharap mereka diprioritaskan menjadi tenaga PPPK. Apalagi dia bekerja sudah delapan tahun. ”Kalau mau ikut tes PNS sudah tidak bisa lagi, usia sudah lewat,” kata dia.
Tenaga kontrak di Kotim sebelumnya terdata sebanyak 2.673 orang. Mereka bekerja sebagai guru, tenaga medis, dan pegawai di SOPD. Anggaran yang diperlukan untuk menggaji tenaga kontrak itu per tahunnya mencapai sekitar Rp 110 miliar.
Terkait PPPK, 2019 lalu, Pemkab Kotim mendapat kuota sebanyak 101 formasi. Terdiri dari 80 tenaga pendidikan dan 21 penyuluh pertanian. Sistem perekrutan PPPK diperkirakan sama dengan teknis perekrutan calon pegawai negeri sipil (CPNS), yaitu dengan sistem computer assisted test (CAT).
Sebelumnya diberitakan, pemerintah bersama DPR RI menyepakati tenaga honorer tak ada lagi di lingkungan pemerintahan. Kebijakan yang akan dilakukan secara bertahap itu menuai pro-kontra.
Penghapusan tersebut merupakan hasil rapat kerja Komisi II DPR RI, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN RB), dan Badan Kepegawaian Negara (BKN), Senin (20/1). Sesuai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, dalam pemerintahan memang tak ada istilah tenaga honorer. Hanya ada pegawai negeri sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK)
Wakil Ketua Komisi II DPR RI Arif Wibowo menegaskan, penghapusan tenaga honorer itu sejalan dengan undang-undang tersebut. Dalam risalah rapat yang diperoleh, DPR, Kementerian PAN RB dan BKN sepakat memastikan tidak ada lagi status pegawai yang bekerja di instansi pemerintah selain PNS dan PPPK sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN. (ang/ign)