SAMPIT – Pencadangan lahan untuk pemakaman di Jalan Jenderal Sudirman Km 6 puluhan tahun silam disinyalir menciptakan ruang hitam yang dimanfaatkan oknum korup. Sebagian lahan yang seharusnya untuk tempat pemakaman lintas agama, justru dikomersialkan dengan dibangunnya perumahan.
”Saya menilai dari kacamata hukum ada pidananya. Bagaimana bisa lahan milik pemerintah daerah diserobot pihak lain. Ini artinya ada sesuatu yang tidak beres,” kata Bambang Nugroho, praktisi hukum di Kotim, Rabu (12/2).
Bambang menuturkan, ada indikasi tindak pidana korupsi di balik hilangnya lahan yang harusnya untuk areal kuburan. Karena itu, sudah selayaknya aparat penegak hukum masuk dan melakukan penyelidikan mencari pihak yang harus bertanggung jawab secara hukum terkait polemik itu. Apalagi legalitas kepemilikan lahan di areal kuburan itu sudah ada.
Bambang sepakat agar persoalan itu dilaporkan secara hukum. Dengan begitu, proses hukum yang akan membuktikan siapa yang salah dan benar. Namun, apabila lahan itu belum ada bukti kepemilikan Pemkab Kotim yang sah secara hukum, baik berupa surat keterangan tanah atau sertifikat, hal itu menjadi ruang bagi pihak yang diduga menyerobot lahan tersebut.
”Kalau tidak ada surat kepemilikan pemerintah daerah juga sulit, karena harusnya lahan itu ada surat yang sah menurut hukum. Tapi, saya kira perlu diselidiki bagaimana bisa lahan yang sudah dipatenkan 30 tahun lalu, muncul surat kepemilikan lain,” kata dia.
Lahan itu ditetapkan sebagai tempat pemakaman melalui Surat Keputusan Bupati Kotim tahun 1991 silam seluas 1.500 m x 1.000 m. Namun, dalam perjalanannya luasannya menyusut menjadi sekitar 350 meter akibat adanya pembangunan perumahan. Sejumlah pejabat disinyalir memiliki rumah di atas tanah tersebut. Selain itu, juga berdiri bangunan sekolah dan perumahan.
Menurut Bambang, ada orang yang diuntungkan dari komersialisasi lahan milik pemerintah itu. Di sisi lain, daerah dirugikan. ”Ini sudah bisa dikatakan perbuatan merugikan, karena menjual lahan pemerintah tanpa hak,” tegasnya.
Dia juga mempertanyakan munculnya sertifikat di atas lahan tersebut. Dasar penerbitannya bisa ditelusuri mulai dari tingkat kelurahan, kecamatan, hingga Badan Pertanahan Nasional (BPN).
”Jangan-jangan proses penerbitan sertifikat tersebut tidak sesuai prosedur dan di itu bisa menjerat pihak-pihak lain yang terkait. Termasuk oknum pemerintah di tingkat kelurahan, kecamatan, hingga BPN pada masa itu,” kata Bambang.
Meski begitu, lanjutnya, surat penetapan daerah melalui SK Bupati Kotim tahun 1991 silam sebenarnya sudah cukup sebagai modal awal untuk menelusurinya. Di sisi lain, secara perdata, kata dia, dalam polemik itu akan ada dua surat, yakni SK Bupati dan sertifikat kepemilikan. Namun, surat kepemilikan tidak serta merta begitu saja bisa mengalahkan SK Bupati.
Sebelumnya, Kejaksaan Negeri Kotim mendukung persoalan tanah kuburan tersebut diselesaikan segera. ”Yang jadi pertanyaan, kenapa terbit sertifikat (atas nama masyarakat)," kata Kepala Kejaksaan Negeri Kotawaringin Timur melalui Kasi Intelijen Sunardi Efendi.
Sunardi menuturkan, hal itu harus jadi catatan Pemkab Kotim agar setiap aset segera dibuat kepemilikan hak untuk menghindari klaim masyarakat. ”Ada dua mekanisme yang bisa ditempuh, apakah mediasi atau penegakan hukum," ujarnya.
Menurut Sunardi, sertifikat tidak serta merta muncul begitu saja, sehingga harus ditelusuri proses penerbitannya. ”Apakah dalam penerbitannya ada maladmintrasi atau ada data palsu atau keterangan palsu yang diberikan? Itu yang harus dicari tahu. Jika ada demikian, bisa masuk ranah pidana," jelasnya.
Sebelumnya, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar DPRD Kotim terkait polemik tersebut, dua kesepakatan dan rekomendasi yang dihasilkan, di antaranya mengembalikan secara total areal pemakaman lintas agama sesuai dengan SK Bupati Kotim. Kedua, Pemkab Kotim diberikan waktu satu bulan untuk mengembalikan lahan kepada umat yang menggunakannya. (ang/ign)