SAMPIT – Pantai Ujung Pandaran Kecamatan Teluk Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), kian tergerus. Jika tak segera ditangani, abrasi akan semakin parah. Sejumlah fasilitas wisata milik Pemkab Kotawaringin Timur terancam rusak.
”Saat ini kondisi bibir pantai sudah terkikis derasnya ombak air laut. Sebagian pesisir pantai sudah tenggelam dan sudah sampai mengenai tangga huma betang,” ucap Camat Teluk Sampit Juliansyah, Rabu (20/5).
Juliansyah mengatakan, pemerintah pusat melalui Provinsi Kalteng telah membangun breakwater (pemecah ombak) sepanjang 125 meter dengan anggaran sekitar Rp 8 miliar. Dana tersebut bersumber dari APBN dan pekerjaan sudah rampung tahun lalu.
”Tahun lalu memang ada pembangunan untuk menanggulangi abrasi dari sumber APBN yang ditangani oleh provinsi. Ada sekitar 125 meter dari gerbang masuk tetapi belum sampai ke huma betang,” ujarnya.
”Anggaran itu sekitar Rp 8 miliar. Tetapi, saya tidak tahu persis angka dan panjang pembangunananya karena itu proyek provinsi dan saya masih belum menjabat sebagai camat,” tambahnya.
Selain itu, pemerintah juga sudah mengambil langkah dengan meletakkan ribuan karung pasir untuk menahan gelombang air laut. Namun, kondisinya saat ini sudah hancur.
”Karung pasir sudah hancur dan kemungkinan masih ada yang tersisa beberapa karung saja. Kalau hanya karung pasir tidak akan kuat bertahan lama menahan derasnya ombak laut,” ujarnya.
Kendati demikian, hingga saat ini belum ada warga yang terdampak abrasi. Hal tersebut dikarenakan, beberapa tahun lalu puluhan warga yang bermukim di pesisir pantai sudah direlokasi.
”Beberapa tahun lalu pemerintah sudah membangunkan rumah relokasi untuk 88 unit rumah. Tetapi, ada sekitar 21 KK yang masih belum mau pindah dan tetap di tempatnya semula,” ujarnya.
Dalam beberapa hari yang lalu, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kotim bersama Inspektorat melakukan penelusuran ke Pantai Ujung Pandaran.
”Senin lalu ada pegawai dari disbudapar dan inspektorat melakukan penelurusan melihat kondisi Pantai Ujung Pandaran,” ujarnya.
Juliasnyah berharap, pembangunan dapat dilanjutkan hingga sepanjang Pantai Ujung Pandaran. Paling tidak, sampai betang dan bangunan kubah atau tempat makam ulama Syekh Abu Hamid bin Syekh Haji Muhammad As’ad Al Banjary.
”Harapan kami pembangunan bisa dilanjutkan sampai sepanjang Pantai Ujung Pandaran dan paling tidak selamatkan dulu bangunan betang dan kubah dan makam yang menjadi salah satu destinasi wisata di Kotim,” ujarnya.
Secara terpisah, Kepala Dinas Perikanan Kotim Heriyanto mengatakan, pemerintah berencana membangunan sabuk pantai sepanjang 3.500 meter. Namun, pembangunan baru diselesaikan sepanjang 1.200 meter dengan anggaran APBN sebanyak Rp 5,7 miliar yang diselesaikan di tahun 2017 lalu. Masih ada sekitar 1.300 meter lagi pembangunan sabuk pantai yang belum dikerjakan.
“Dalam perkembangannya pembangunan sabuk pantai itu rencana dilanjutkan pada 2019 lalu tetapi ditunda dan memutuskan lebih baik membangun breakwater,” ujarnya.
Rencana tersebut berubah, setelah mendengar pendapat ahli dari Kementerian PUPR dan Kementerian Kelautan dan Perikanan.
”Menurut pendapat ahli, ciri khas ombak di Ujung Pandaran lebih ganas dibandingkan dengan wilayah lain sehingga untuk mencegah abrasi tidak semakin parah, penanganannya tidak efektif dengan membangun sabuk pantai dan lebih diarahkan untuk membangun breakwater,” kata Heriyanto.
Dirinya menyadari persoalan abrasi di Ujung Pandaran ditemukan polemik yang tidak semua dipahami oleh masyarakat. Sebagian besar masyarakat berpandangan bahwa pembangunan sabuk pantai sama fungsinya seperti breakwater.
“Sabuk pantai itu fungsinya bukan untuk menahan gelombang ombak tetapi untuk pembentuk pantai alami dan bukan penahan abrasi,” terangnya.
Menindaklanjuti persoalan penanganan abrasi, Pemkab Kotim melalui DKP Provinsi Kalteng telah mengusulkan pembangunan breakwater pada tahun 2019 lalu. Proyek pembangunan tersebut telah dikerjakan sepanjang 150 meter dengan total anggaran kurang lebih sekitar Rp 9 miliar.
“Pembangunannya sudah dimulai setelah Lebaran Idul Fitri tahun 2018 lalu dan sudah selesai. Tetapi, karena proyek ini ditangani provinsi, kami tidak begitu tahu persis nilai anggaran pembangunan dan perkembangan pembangunannya,” tandasnya.
Konsep Wisata
Abrasi yang kian parah di Pantai Ujung Pandaran turut menarik perhatian pakar kehutanan Dr Joni. Doktor Kehutanan lulusan Universitas Mulawarman ini mengatakan, abrasi disebabkan karena salah peruntukan dari pemanfaatan pantai. Seharusnya, pantai itu diperuntukkan tempat wisata hutan bakau, tidak sebagai tempat wisata umum seperti sekarang. Konsep wisata di sana selama ini didasarkan pada konsep yang tidak didasari oleh integrasi studi kelayakan yang memadai.
Karena tidak adanya penyangga yang secara alamiah, abrasi terjadi begitu cepat. Padahal untuk pembuatan tempat istirahat dalam bentuk rumah betang itu saja makan biaya mahal. Belum pulih biaya pembuatanya, sudah rusak.
“Mestinya disediakan penyangga yang sifatnya memproteksi. Sebagai akibat ketiadaan proteksi ini, maka dengan cepat, kikisan ombak laut khususnya saat air laut pasang mempecepat terjadinya abrasi,” ujar Joni.
Dia menuturkan, seharusnya pencegahan terjadinya abrasi bisa dilkakukan sejak awal, yaitu mempersiapkan infrastruktur berbasis hutan bakau. Tidak semata membangun infrastruktur untuk kenyamanan wisata yang hanya sesaat.
Sambil menunjukkan contoh di Surabaya dan di pantai Pangandaran Banten, Joni menuturkan dengan basis wisata hutan bakau, akan terjaga kelestarian hutan dan sekaligus menjadi filter terhadap berbagai komponen yang merusak pantai.
“Kita bisa menyaksikan di Pantai Wonorejo, Gunung Anyar dan Kenjeran di Surabaya, betapa wisata pantai berbasis hutan bakau itu begitu mengasyikkan, dan terpelihara dengan sangat baik,” ujar pria kelahiran Seruyan ini.
Ia menambahkan, pantai ditanami bakau, dan itu merupakan upaya untuk mencegah abrasi secara permanen. Perkembangn hutan bakau justru akan menjadi filter dari perusak yang datang dari arah laut dan menjaga pantai dari terpaan ombak besar khususnya pada waktu air pasang tinggi.
Ditanya tentang bangunan yang bisa berdiri di kawasan itu, menurut Joni harus menghadap ke laut, dan dikelilingi oleh hutan bakau. Konstruksi demikian di samping untuk melindungi bangunan seperti rumah betang yang dibangun itu juga dimanfaatkan sebagai sarana untuk melakukan pengawasan terhadap kondisi hutan bakau di setiap waktu.
Joni menilai bahwa konsep wisata yang dibangun saat ini tidak jelas. Sekadar mendirikan penginapan dan tempat yang di kawasan lain juga seperti itu. Harusnya ada kekhususan, yaitu wisata hutan bakau tadi.
Ia menambahkan, konsep wisata yang membangun sarana prasarana dan konsepnya menikmati pantai sudah banyak yang membuat. Jadi tidak ada nilai kekhususannya. Hanya temporer. Mana biayanya mahal, sementara pemasukan untuk itu tidak sesuai, apa lagi sekarang kondisi sudah rusak, siapa mau datang, sesalnya.
Menurut Joni, jika ada wisata bakau, di samping suasana akan menjadi lebih sejuk juga dapat dajadikan sebagai laboratorium akademis tempat mahasiswa kehutanan bisa melakukan penelitian. Berikutnya bisa dikembangkan pembudidayaan kepiting jumbo atau tambak perikanan laut.
Joni yang sudah melakukan studi banding tentang hutan bakau ini menyarankan agar konsep rekreasi ini segera diubah dengan menjadikan basis hutan bakau sebagai konsep dasar wisata dimaksud.
”Jangan beralasan karena dana sudah terlalu banyak dikeluarkan untuk kebutuhan ini menjadi alasan. Bagaimanapun lebih baik diubah konsepnya, supaya jangan muncul kerugian lebih besar lagi,” ujarnya.
Tanpa merubah konsep peruntukan, akan tetap seperti itu keadaannya, yaitu cepat rusaknya infrastruktur dan sepinya pengunjung karena fasilitas yang ada tak menarik. (hgn/yit)