SAMPIT – Tiga sesi debat publik telah digelar KPU Kotim. Seberapa efektifkan acara yang menelan kocek ratusan juta rupiah itu untuk memenangkan hati pemilih? Sebagian pasangan calon menilai tak efektif, meski calon yang lain yakin mampu mendongkrak dukungan hingga 40 persen.
Keraguan akan efektivitas debat bukan tanpa alasan. Mulai dari tempat yang tidak nyaman, kesalahan teknis, penyelenggara yang dianggap tidak profesional dan proporsional, sampai cara berpikir pemilih yang masih tradisional.
”Sekarang saya tanya, apakah masyarakat di desa menonton debat ini, belum tentu. Jadi masih belum efektif,” kata Calon Wakil Bupati Kotim Nomor Urut 4 Supriadi, Senin (10/11).
Menurut Supriadi, pemilihan subtema yang diangkat oleh KPU Kotim belum menyentuh permasalahan di lapangan dan hanya garis besarnya. Belum lagi mengenai dugaan bocoran soal yang justru sudah diketahui oleh pasangan calon lain. Dan ini tentu merugikan.
”Keraguan kami terhadap pelaksanaan debat ini sudah kami sampaikan ke KPU dan masih belum ada respons,” katanya
Keraguan terhadap pelaksanaan debat publik ini juga disampaikan oleh Calon Bupati Kotim Nomor Urut 1 Djunaedy Drakel. Dia melihat pelaksanaan debat publik ini tak sesuai dengan teknis kegiatan serupa yang dilaksanakan di beberapa kota besar di Indonesia. Sudah seharusnya debat ini dilakukan bergantian antara calon bupati satu dengan yang lainnya dan begitu juga dengan calon wakil bupatinya.
”Jadi masyarakat bisa menilai seberapa besar kualitas calon bupati dan calon wakil bupatinya. Bukan hanya satu orang saja yang dinilai, karena lebih banyak bicara,” ujar dia.
Pendapat berbeda diungkapkan Cabup Kotim Nomor Urut 2, Supian Hadi, yang menilai bahwa pelaksanaan debat ini merupakan langkah efektif untuk masyarakat menentukan pilihannya. Bahkan, dia optimistis dari setiap debat yang dilakukan selalu mendapat respons positif dari masyarakat dan pasangan Supian Hadi-Taufiq Mukri (SAHATI) selalu berada di posisi pertama.
”Saya yakin dengan adanya debat ini dapat menambah jumlah dukungan hingga 40 persen dan setiap debat selalu ada lembaga survei dari internal kami yang menilai,” katanya.
Hal serupa juga diungkapkan calon bupati perseorangan Muhammad Arsyad, meski tidak dapat menyebutkan seberapa besar keefektifan debat paslon tersebut. Namun, dia yakin melalui debat publik ini dapat menjadi pertimbangan masyarakat untuk memilih pasangan calon yang benar-benar dapat menyejahterakan masyarakat.
”Walaupun jujur, pilbup kali ini kualitas pasangan calonnya lebih rendah, dibanding sebelumnya dan masyarakat bisa memilih yang memang layak memimpin Kotim lima tahun ke depan,” jelasnya.
Komisioner KPU Kotim Juniardi mengungkapkan sesuai dengan PKPU Nomor 7 Tahun 2015, debat publik atau debat terbuka ini merupakan salah satu bentuk dari metode kampanye. Melalui debat ini, konstituen bisa menilai paslon mana yang menjabarkan dan menjelaskan visi dan misinya secara umum atau subtansial kepada publik.
”Debat ini efektif atau tidak efektif tidak bisa diukur, karena masyarakat atau pemilih yang menilai,” katanya.
Terkait adanya pemadaman listrik yang dilakukan oleh PLN Rayon Sampit, sehingga banyak masyarakat yang tidak bisa melihat siaran langsung debat publik, menurut Juniardi, nanti akan ada siaran ulangnya. Meski sebelum pelaksanaan debat, pihaknya meminta PLN untuk tidak melakukan pemadaman listrik di sekitar Gedung Serba Guna.
”Kalau tidak bisa melihat siaran langsungnya, nanti ada siaran ulangnya. Jadi masyarakat tidak perlu khawatir,” tandasnya.
PANAS DI AKHIR
Debat kandidat calon bupati dan wakil bupati Kotim putaran terakhir cukup panas dan menarik. Pasangan Muhammad Arsyad-Nadiansyah (MADANI) mengkritik habis-habisan pelaksanaan demokrasi di Kotawaringin Timur
Muhammad Arsyad, dengan nada tegas, menyebut kualitas paslon tahun ini menurun dibanding lima tahun lalu. Sebab sistem rekrutmen oleh parpol dinilai bersifat transaksional.
”Kualitas paslon saat ini menurun, sebab siapa yang banyak uangnya bisa menggunakan perahu parpol. Karena ini, jika terpilih Madani akan membenahi paradigma ini," kata Muhammad Arsyad.
Tidak hanya itu, Arsyad juga menyinggung pencalonan Taufiq Mukri yang merupakan Ketua PPP Kotim, namun justru mengusung calon lain yakni Djunaedy Drakel-Haryanto. ”Ada keanehan yang terjadi di Kotim ini, keanehan demokrasi," kata Arsyad.
Di sisi lain, dalam sesi pertama paslon DJUARA ngotot agar debat putaran terakhir ini hanya jadi panggung untuk calon bupatinya. ”Kalau bisa malam ini khusus untuk bupati saja, jangan lagi bawa catatan segala macam. Saya tidak takut diketawakan masyarakat di ruang ini, saya lebih malu dengan ratusan ribu masyarakat Kotim," tegasnya.
Hal ini, kata Djunaedy, untuk menujukkan siapa yang pantas dan berhak dipilih. Namun, moderator saat itu menganulir usulan paslon yang diusung PKB, PPP, dan Hanura itu. ”Ini debat paslon, bukan debat bupati saja,” kata Muhammad Jairi, moderator yang juga memimpin debat jilid pertama itu.
Dalam perjalanan debat, kebijakan pembangunan lima tahun terakhir juga dibahas. Seperti program multiyears pembangunan Ikon Kota Sampit, pembuatan bundaran, dan lain sebagainya, yang menelan anggaran mencapai angka Rp 200 miliar itu.
Supian Hadi menjelaskan, pembangunan Ikon Kota itu sebagai upaya meningkatkan PAD di sektor pariwisata. Apalagi PAD Kotim terancam dengan rencana pembentukan Kotara. Sebab, sektor perkebunan dan pertambangan sebagai penyumbang utama PAD Kotim selama ini berada di wilayah utara.
Arsyad justru menilai Kotim tidak cocok untuk kota wisata. Sebab secara historis Kotim cenderung berkutat pada sektor jasa, perdagangan, dan industri. (tha/ang/dwi)