Masyarakat Kalimantan Tengah tentunya tidak asing lagi dengan nama Tjilik Riwut. Pahlawan berdarah Dayak nasional asal Kalteng. Seniman lokal pun punya cara mengungkap semangat dan perjuangannya dalam sebuah kanvas.
AGUS FATARONI/Palangka Raya
ADA hal yang menarik pada acara mengenang 100 tahun Tjilik Riwut, pada Jumat (2/2) malam di Restoran Tjilik Riwut. Dimana ada sebuah lukisan yang menggambarkan sosok Tjilik Riwut dengan balutan lima warna yang dilabur secara abstrak, terdiri dari merah, kuning, hitam, putih dan hijau.
Lukisan yang menarik perhatian dan langsung dilukis malam itu serta diberi judul “Petehku Isen Mulang” tersebut ternyata dilukis oleh seniman asli Kalteng yaitu P Lampang (48) yang berasal dari Palangka Paya dan juga tercatat sebagai alumni Institut Seni Indonesia (ISI) Jogyakarta.
Lampang menyebutkan, lima unsur warna yang digunakannya dalam lukisan adalah warna yang menggambarkan perjuangan dari sosok Tjilik Riwut, dimana lima warna tersebut mengandung unsur “5BA”.Lima 5BA tersebut adalah Bahandang (merah), Baputi (putih), Babilem (hitam), Bahijau (hijau) dan Bahenda (Kuning).
“Bahandang (merah) menggambarkan Keberanian, Baputi (Putih) menggambarkan Kesucian, Babilem (Hitam) menggambarkan kekuatan, Bahijau (hijau) menggambarkan Kesuburan, dan Bahenda (kuning) menggambarkan kharisma atau kejayaan,” ucapnya saat berbincang sembari terus menarik kuasnya dibawah cahaya lampu temaram, mengingat acara mengenang Tjilik Riwut ini digelar di halaman belakang dalam rumah bersejarah tersebut.
Dimana makna lukisan yang menggambarkan sosok Tjilik Riwut dengan balutan warna-warni itu adalah gambaran dari semangat yang membara untuk memperjuangkan Kalimantan Tengah dan untuk melestarikan dan mengembangkan budaya Kalteng.
“Warna yang menyelimuti sosok dalam lukisan adalah gambaran membaranya semangat beliau dalam memperjuangkan Kalteng dan membangun budaya Kalteng hingga saat ini,” ucapnya.
Dirinya mengaku, lukisan tersebut dibuat dengan spontanitas, tanpa adanya rencana sebelumnya. Dimana lukisan tersebut diserap dari berbagai jenis tarian yang disuguhkan dalam acara mengenang 100 tahun Tjilik Riwut. Semua jenis tarian dari sejumlah sanggar tari itu menggambarkan semangat juang Tjilik Riwut di masa lalu.
Lelaki dengan postur badan sedang tersebut, mengaku merasa terhormat diundang langsung oleh keluarga besar Tjilik Riwut untuk menuangkan imajinasinya dalam sebuah kanvas. Pasalnya tidak semua orang bisa menyerap sebuah arti perjuangan dari tarian dan menuangkannya dalam bentuk lukisan.
“Tentunya merasa bangga dapat menuangkan luapan ekspresi saya dalam sebuah lukisan. Meskipun tidak mudah menyerap gabaran semangat bapak Tjilik Riwut di masa lalu dalam sebuah tarian, namun dengan hasil yang saya peroleh saat ini saya merasa puas,” pungkasnya.
Sementra itu salah seorang tamu yang hadir Soni mengaku sangat kagum dengan kepiawaian sang pelukis menarikan imajinasinya dalam warna-warna di atas kanvas.
“Uma lah luar biasa toto oloh bakas jikau, puna tau tutu melukis langsung hamalem toh kia, puna bahalap lukisanah (waw betapa luar biasa orang tua itu, benar-benar bisa melukis langsung malam ini juga, bagus sekali lukisanya, Red),” cetusnya dengan Bahas Dayak penuh kekaguman diantara rekan-rekannya yang hadir.
Pada 2 Februari lalu, merupakan hari ulang tahun pahlawan nasional sekaligus gubernur Kalteng pertama itu. Tentu, jika pahlawan berdarah Dayak ini masih ada hingga sekarang, maka ini merupakan peringatan ulang tahunnya, yang terhitung sejak 2 Februari 1918. Rangkaian peringatan dimulai dengan pembuatan film dokumenter, kemudian ziarah di Taman Makam Pahlawan Sanaman Lampang, hingga ramah tamah pada malam harinya di rumah yang kini dikelola Kameloh Ida Lestari, putri keempat Tjilik Riwut. Kelima putra-putri Tjilik Riwut yakni dari yang pertama, Emilia Enon Herjani, A.R. Hawun Meiarti, Theresia Nila A.T, Kameloh Ida Lestari, dan putra satu-satunya sekaligus paling bungsu Anakletus Tarung Tjandrautama, hadir bersama keluarga masing-masing dalam acara tersebut. (*/vin/gus)
