Mengakhiri bisnis prostitusi tak semudah membalik telapak tangan. Ada banyak manusia yang tarikan napasnya kian panjang karena ladang penghasilan hilang. Kegelisahan kian kencang menjelang hari-hari penutupan. Di tengah kepasrahan, mereka berharap ada kebijakan manusiawi agar masa depan tak suram.
Ayunan langkah kaki kian ringan begitu memasuki kawasan wisma yang menyerupai perkampungan di Dukuh Mola, sore itu. Puluhan wanita berpakaian seksi dan seadanya, duduk santai di depan wisma. Penampilan mereka membuat pria hidung belang seolah tak bisa berpejam.
Pemerah bibir dipadu bedak agak tebal, membuat penampilan mereka semakin memesona. Sesekali mereka menyapa pria yang lalu lalang di depan mereka. Sebagian pria itu ada yang berhenti, sebagian lagi hanya tersenyum simpul.
Untuk menjangkau lokasi itu perlu waktu panjang memang, sekitar satu jam melalui jalur darat dari Kota Pangkalan Bun. Letaknya pun berada dalam hutan. Akan tetapi, untuk urusan yang satu ini, meski jauh pun, para pria hidung belang tetap ramai mendatangi.
---------- SPLIT TEXT ----------
"Cari siapa bang, butuh bantuan kah?” sapa seorang wanita muda saat Radar Sampit berjalan menyusuri wisma.
Sapaan wanita membuat langkah kaki terhenti. Senyumnya ramah dengan tatapan menggoda. Dia kemudian mempersilakan Radar Sampit duduk santai di wisma itu. Dini (nama samaran), demikian dia memperkenalkan namanya.
Setelah berbasa-basi, Dini tak sungkan menceritakan kisah hidupnya yang bergantung dari kawasan lokalisasi itu. Wajahnya yang tadi ceria, seketika berubah muram. ”Mana ada orang yang ingin menjadi PSK. Sebagai seoarang perempuan, saya ingin sekolah sampai kuliah dan mempunyai karir di perkantoran,” tutur Dini.
Terjun ke bisnis yang bagi sebagian besar orang haram itu, bukan keinginannya. Sebaliknya, cita-citanya sejak belia dulu sangat mulia, menjadi guru. Karena himpitan ekonomi dan berbagai permasalahan keluarga yang mendera sejak SMA, Dini harus melepas angannya.
”Saat masih SMA, keluarga saya kacau. Usaha bapaknya juga bangkrut dan banyak utang di mana-mana, mulai dari bank dan orang dekat, serta rentenir,” tuturnya mengenang awal mula kisah kelamnya.
---------- SPLIT TEXT ----------
Kondisi demikian berdampak besar pada Dini. Hidupnya ikut kacau. Apalagi orangtuanya sering sakit-sakitan dan terus ditagih utang. Wanita itu kemudian mengambil keputusan mengakhiri sekolahnya dan memilih mencari pekerjaan.
Dini kemudian diterima bekerja di sebuah toko. Upahnya saat itu kurang dari Rp 1 juta per bulan. Penghasilan sebesar itu masih minim baginya. Belum mampu menutupi utang-utang ayahnya yang mencapai lebih dari Rp 500 juta.
Di tengah kerisauannya, Dini bertemu seseorang yang menawarinya terjun ke bisnis prostitusi, menjadi pemuas nafsu pria. ”Umur saya waktu itu 18 tahun. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya ikut menjadi PSK (pekerja seks komersial, Red). Menjadi PSK yang hasilnya nanti membayar utang bapak,” tutur perempuan berkulit sawo matang ini.
Sejak saat itu, penghasilan Dini melonjak drastis. Dalam sehari, penghasilannya minimal Rp 400 ribu. Dari uang itulah dia mampu membayar utang ayahnya, meski masih mencicil. Sampai pada suatu ketika, ayahnya meninggal dunia. Utang-utang yang masih menumpuk itu, menjadi beban Dini dan keluarganya.
”Sekitar sepuluh bulan lalu, bapak sudah meninggal. Jadi, saya berkewajiban melunasi utang bapak, meski harus seperti ini (menjadi PSK, Red),” ujarnya sembari menitikkan air mata.
---------- SPLIT TEXT ----------
Karena berbagai faktor, Dini kerap berpindah tempat. Sampai akhirnya wanita asal Jawa Timur ini hijrah ke Kobar, Kalimantan Tengah, sejak delapan bulan silam. Di kabupaten berjuluk Bumi Marunting Batu Aji, kehidupan Dini tak ada perubahan. Dia tetap bertahan dengan pekerjaannya.
Hampir setiap hari Dini menjadi pemuas nafsu pria yang memerlukan kehangatan tubuhnya. Pelanggannya dari berbagai latar belakang. Mulai dari pria muda hingga tua. Profesinya pun beragam. Sopir harus pun tetap dilayaninya asalkan mampu membayar sesuai tarif yang sudah dipatok.
”Itu sudah kerjaan saya. Jadi, mau tidak mau dan suka tak suka harus dilayani. Dalam semalam, kadang ada dua pelanggan atau lebih dan kadang juga sepi. Jadi, tidak menentu seberapa banyak tamu yang harus saya layani,” tuturnya.
Tarif kencan Dini tergolong tinggi. Pria hidung belang harus merogoh kocek sebesar Rp 500 ribu. Uang itu tak diterimanya penuh. Terkadang dipotong mucikari sekitar Rp 100 ribu. Saat melayani pelanggan, bukan kenikmatan yang didapat Dini. Tak jarang dia mendapat siksaan fisik, karena tamu yang datang sambil mabuk atau memiliki kelainan seks, sehingga sering menyiksa.
”Kadang saya merasa sedih, tapi mau bagaimana lagi. Itu sudah risiko saya,” ucapnya.
---------- SPLIT TEXT ----------
Dalam hati kecilnya, Dini tak ingin terus menerus terperangkap dalam jerat bisnis kenikmatan bagi para pria hidung belang itu. Setelah utang ayahnya lunas, dia bertekad mencari pekerjaan lain yang lebih layak di mata masyarakat.
”Niat saya hanya untuk melunasi utang bapak. Tentunya supaya bapak di alam sana bisa tenang. Saya sebagai anak, wajib untuk melunasi utang,” katanya.
Untuk melunasi utang ayahnya, Dini memperkirakan perlu waktu sekitar setahun lagi. Sampai dia mendengar kabar, kawasan lokalisasi itu akan ditutup Pemkab Kobar. Dia pun gamang. Khawatir penghasilannya menurun, sementara utangnya belum lunas. Meski demikian, Dini pasrah.
”Kalau penghasilanya masih sama (Rp 400 ribu sekali kecan, Red), ya, masih satu tahun lagi baru saya meninggalkan bisnis prostitusi. Tapi, malahan di Kobar mau ditutup. Jadi, nanti mau ke mana juga belum tahu,” katanya.
---------- SPLIT TEXT ----------
Apabila penutupan itu dilakukan, mau tak mau Dini harus kembali ke Jawa Timur. Meski demikian, dia masih berniat melanjutkan profesinya sebagai wanita penghibur sampai utang ayahnya benar-benar lunas.
”Kalau sudah lunas, baru saya senang dan almarhum bapak juga tenang di sana, sehingga baru cari pekerjaan seperti orang pada umumnya,” katanya.
Dini juga mengutarakan niatnya ingin hidup normal seperti orang umumnya, memiliki suami dan keluarga. ”Siapa sih yang tidak mau hidup tenang dan memiiki keluarga? Setidaknya saya ada yang melindungi dan nantinya kami bisa mempunyai anak yang bisa berbakti kepada saya saat sudah tua,” kata Dini.
Di ujung pembicaran, Dini menyelipkan harapan, penutupan yang dilakukan pemerintah, juga disertai dengan kebijakan manusiawi. Warga yang bergantung pada kawasan itu, termasuk dirinya, bisa mendapat kompensasi atau hal lainnya agar masa depan mereka tak suram. (rin/ign)