Sebelum penertiban, pihaknya akan memberikan surat peringatan kepada pemilik warung remang-remang. ”Sampai ketiga kali surat peringatan tidak dihiraukan, baru kami lakukan penggusuran,” ujarnya.
Dalam persoalan bisnis esek-esek, Rihel menambahkan, perlu dilakukan pembinaan dengan memberikan pelatihan maupun keterampilan agar PSK dapat memulai kehidupan baru dengan bekerja sesuai keterampilan yang dimilikinya.
”Di Kotim ini belum ada tempat untuk menampung pekerja seks komersial untuk melakukan pembinaan keterampilan, sehingga itu juga yang menjadi kendalanya,” katanya.
Di sisi lain, lanjutnya, peran Dinas Sosial dan Disnakertrans sangat diperlukan untuk membuat para PSK menjalani pekerjaan yang halal tanpa harus menjual diri. ”Ada banyak alasan mereka melakukan itu. Kebanyakan dari mereka bukan warga asli, tetapi perantauan. Alasan kesulitan ekonomi, ditinggal suami, menjadi janda, membuat mereka rela menjual dirinya,” ujarnya.
Persoalan bisnis haram, tegas Rihel, tidak akan pernah selesai tanpa disertai peran Pemkab Kotim bersama semua pihak terkait. ”Kalau tidak ada peran bersama dari kita semua, kecamatan, Dinas Sosial, Disnakertrans, dan masyarakat, ini sulit dihentikan. Kegiatan seperti itu perlu diawasi, dipantau, dan rutin patroli. Kalau tidak, persoalan prostitusi seperti ini tidak akan pernah selesai dan akan terus terulang,” ujarnya. (hgn/ign)