PANGKALAN BANTENG - Keinginan pemerintah untuk menekan harga daging sapi hingga mencapai Rp 80 ribu per kilogram dengan mengimpor daging beku justru membuat sebagian masyarakat resah. Selain kualitas, kehalalan cara menyembelih sapi juga membuat masyarakat khawatir.
Ita salah satunya, ibu rumah tangga asal Desa Karang Mulya, Kecamatan Pangkalan Banteng, mengaku khawatir proses penyembelihannya tidak sesuai syariat Islam. ”Katanya murah, tapi apa iya itu halal. Takutnya penyembelihan sapinya tidak sesuai syariat Islam,” ujarnya, Sabtu (11/6) siang.
Baginya, daging segar akan lebih enak bila dibandingkan dengan daging beku. ”Jelas enak daging segarlah menurut saya, mungkin daging seperti itu lebih cocok untuk dibuat makanan kemasan seperti sosis atau mungkin nugget,” tuturnya.
Ungkapan serupa juga dikatakan Maruwan. Penjual bakso khas Solo ini juga tetap memilih daging segar bila dibandingkan dengan daging beku impor. ”Masih tetap enak daging segar, lebih baik mahal sedikit tapi tapi kita tidak kehilangan pelanggan,” katanya.
Harga daging di Pangkalan Banteng memang sudah turun tipis menjadi Rp 125 ribu per kilogram, namun pihaknya berharap harga daging bisa kembali seperti dulu di kisaran Rp 115 ribu per kilogram. ”Di Kalimantan untuk harga Rp 80 ribu per kilogram akan sulit, idealnya Rp 115 ribu sudah cukup bagi kita,” harapnya.
Terkait masalah diragukannya kehalalan daging sapi impor, Kepala Seksi (kasi) Pengembangan Produksi Ternak Distanak Kobar Dedi Mulyadi menjelaskan, pemerintah pasti melakukan cek lapangan dan sangat mungkin di klausul perjanjian impor daging itu disertakan tata cara penyembelihan sapi secara halal.
”Kalau masalah kehalalannya tentu pemerintah sudah memikirkan hal itu. Dan setahu saya daging impor itu dari Australia. Di sana juga sudah ada semacam MUI yang melakukan verifikasi terkait kehalalan daging dan juga cara penyembelihannya sesuai syariat Islam,” terangnya.
Ia juga mengungkapkan, masyarakat tidak perlu resah. Peluang Kobar untuk mendapatkan jatah daging beku impor sangatlah kecil. ”Informasi yang saya terima, sepertinya hanya sampai provinsi saja (Palangka Raya). Kalau di Kobar belum tentu dapat,” katanya. (sla/yit)