PANGKALAN BANTENG – Kondisi air sungai di Dusun Semanggang, Desa Pangkalan Banteng, belum sepenuhnya normal. Benih ikan yang mulai kembali ditebar oleh warga masih banyak yang mati.
Selain itu, masyarakat masih sering mencium aroma tak sedap layaknya cairan pemutih pakaian di sungai yang membelah jalan Trans-Kalimantan itu.
Herman, pemilik keramba di dekat Jembatan Aliong di kawasan sungai tersebut mengatakan, setiap hari, dari sekitar 10 ribu benih ikan yang ditebar, sering ditemukan ikan mati setiap hari. ”Tiap hari rata-rata benih ikan yang mati sekitar 50 ekor dan hari ini saja sekitar 80 ekor benih ikan nila yang kita temukan mati,” ujarnya, Kamis (9/2).
Pada 5 Februari lalu, ia mulai menebar benih ke beberapa keramba miliknya. Esok harinya langsung ditemukan ikan yang mati. ”Ikan-ikan yang mati itu sudah mulai saya temukan mulai hari kedua setelah tebar benih. Awalnya langsung ketemu 95 ekor yang mati, hari berikutnya 40 ekor. Selanjutnya 70 ekor dan yang hari ini sekitar 80 ekor,” katanya.
Dia mengetahui secara pasti karena sejak awal jumlah kematian ikan terus dicatat untuk dilaporkan ke Dinas Lingkungan Hidup (DLH). ”Kita catat terus, nanti kita lapor ke dinas, karena ternyata kondisi air belum sepenuhnya normal,” katanya.
Menurut Herman, pihaknya telah melakukan penyelidikan sendiri. Dari penyelidikan itu, diyakini penyebab ikan keramba yang mati bukan berasal dari limbah perusahaan sawit, tapi limbah perusahaan lain.
"Saya sudah buktikan itu bukan dari limbah kebun sawit. Pasalnya, saya tahu jika air sungai terkena limbah sawit, airnya keruh hitam seperti oli. Saat kejadian itu airnya malah jernih,” katanya.
Bahkan, lanjutnya, beberapa hari lalu, air Sungai Semanggang masih berbau seperti aroma pemutih pakaian. Perusahaan yang diduga membuang limbah ke Sungai Semanggang itu lokasinya hanya berjarak sekitar 2 kilometer dari tempat kerambanya.
”Kadang masih berbau seperti cairan pemutih pakaian, tapi tolong jangan disebutin nama perusahaannya itu. Kalau mereka ingin melindungi alam, tentu saja mereka pasti akan mengubah pola pengelolaan limbah,” katanya.
Pihaknya berharap agar perusahaan yang tidak memiliki penampungan limbah bisa mencari solusi agar meminimalisir limbah yang terbuang ke sungai. Pasalnya, selain merugikan petani ikan seperti dirinya, habitat ikan sungai dan udang bisa habis.
”Kalau ikan keramba kan ikan budidaya, tapi kalau ikan liar yang di sungai ikut mati bisa merusak lingkungan,” katanya.
Dia menuturkan, dari setiap kejadian matinya ikan keramba yang pernah dialaminya, air sungai memang selalu berbau seperti cairan pemutih pakaian. Namun, saat itu ia sama sekali tidak paham dan lebih terprovokasi dengan anggapan bahwa limbah itu dari kebun sawit.
”Dulu, karena saya tidak tahu apa itu klorin, juga sistem penanganan limbah sawit itu seperti apa, langsung saja saya menuduh perkebunan. Tapi, kemarin itu sudah saya buktikan sendiri,” tegasnya.
Anggapan bahwa klorin tidak meracuni ikan dan membuat ikan tetap bisa dikonsumi menurutnya memang benar. Namun, klorin itu membuat oksigen dalam air berkurang dan secara otomatis membuat ikan mati karena tidak bisa bernapas dengan baik.
”Iya, memang tidak meracun ikan, tapi membuat oksigen berkurang. Sama saja ujung-ujungnya membuat ikan mati,” katanya.
Dengan kejadian itu, pihaknya berharap agar perusahaan yang masih membuang limbahnya ke sungai dan ingin melakukan pembersihan di perusahaannya, agar memberikan kabar, sehingga ia bisa mengevakuasi ikan di kerambanya.
”Kalau perusahaan tetap ingin membuang limbahnya dalam skala besar, seperti akhir tahun kemarin, lebih baik kabari saya dulu. Jangan sampai kejadian seperti itu terulang,” katanya. (sla/ign)